Kamis, 30 Oktober 2008

Yang Baru Untuk Menggemukan Sapi


Dengan semakin mahalnya harga bahan baku, inovasi teknologi menjadi penting guna meningkatkan efisiensi pemberian pakan sekaligus menaikkan produktivitas.


Dalam bisnis sapi potong, banyak persoalan yang dihadapi peternak rakyat maupun pengusaha penggemukan (feedloter). Di antaranya, rendahnya tingkat pertambahan bobot badan sapi yang diusahakan (ADG). Padahal, aktivitas penting dalam usaha sapi potong itu adalah penggemukan. Di samping faktor genetis, ternyata kegiatan itu tidak dapat dilepaskan dari jaminan ketersediaan pakan baik kualitas maupun kuantitasnya. “Pakan memegang peranan 60%—70% dalam meningkatkan produktivitas,” ungkap Rochadi Tawaf, Ketua PPSKI Jabar.


Menurut ahli maupun para pengusaha penggemukan, pakan yang baik untuk sapi potong adalah yang dapat memenuhi kebutuhan protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral. Secara alami, nutrisi tersebut terdapat dalam rerumputan, seperti rumput gajah. Namun, ketersediaan rumput kian hari semakin berkurang lantaran lahan pertanian banyak tergusur oleh kepentingan pembangunan lain.


Di lain pihak, ketersediaan pakan di pedesaan yang berlimpah adalah jerami. Sayangnya, beda dengan rumput gajah, “Jerami termasuk sumber pakan yang berkualitas rendah sehingga untuk meningkatkan mutu jerami diperlukan sentuhan teknologi,” urai Rochadi.

Dalam usaha penggemukan sapi pun tak hanya butuh ketersediaan pakan utama. Untuk mempercepat pertambahan bobot badan diperlukan pula pakan tambahan berupa konsentrat. Beberapa sumber bahan pakan tambahan yang biasa dimanfaatkan para peternak, dan kemudian diramu menjadi konsentrat, yaitu dedak, gaplek, onggok (ampas singkong), tepung jagung, pollar (ampas gandum), ampas tahu, bungkil kopra, atau limbah sawit.


Persoalannya, menurut Yudi Guntara Noor, Ketua Umum Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI), sumber bahan baku pakan saat ini bermasalah. Bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di dunia. Ia memberi contoh, sekarang gaplek sulit diperoleh. Sebab, banyak diekspor untuk kepentingan industri bioetanol. “Gaplek itu ada harga, nggak ada barang,” tandasnya. Demikian juga dengan onggok maupun pollar, lebih banyak diekspor. Saking sulitnya mendapatkan sumber energi, ada feedlot yang menggunakan bungkil kedelai, walaupun harganya mahal karena barang impor. Padahal sebelumnya tidak ada cerita feedlot memanfaatkan bahan baku pakan impor. Belum lagi, lanjut Yudi, berbicara soal pergeseran iklim yang berpengaruh terhadap perubahan peta pertanian.


Probiotik

Toni M. Wibowo, Direktur Operasional PT Lembu Jantan Perkasa (LJP), feedlot di Bandung, berpendapat, sebenarnya usaha penggemukan saat ini sudah memasuki masa jenuh. Sehingga perlu terobosan teknologi baru untuk bisa meningkatkan produktivitas dan kualitas daging, serta mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.


Hal senada diutarakan Rochadi. “Dengan naiknya harga bakalan dan sumber bahan baku pakan seperti sekarang, feedlot akan gulung tikar bila hanya mampu menghasilkan ADG 1,2 kg,” tandasnya. Supaya untung, imbuh dia, ADG-nya minimal harus 1,4 kg.


Oleh sebab itu, perlu ada inovasi teknologi untuk menghasilkan bahan-bahan tambahan pakan yang mampu menaikkan ADG, dan mempercepat pertumbuhan. Inovasi teknologi itu pun mesti mampu mengefisienkan penyerapan pakan oleh ternak, sehingga dapat mengurangi kebutuhan pakan yang telah dihitung berdasar teori. Namun teknologi juga harus mampu menambah bobot badan harian secara optimal.


“Inovasi teknologi untuk meningkatkan produktifitas itu sangat banyak. Salah satunya adalah probiotik,” ucap Rochadi. Dalam pengembangan teknologi di dunia sekarang, lanjut dia, probiotik paling banyak digunakan..


Menurut Balai Penelitian Ternak (Balitnak), Bogor, Jabar, probiotik adalah mikroba hidup dalam media pembawa yang menguntungkan ternak. Mikroba itu mampu menciptakan keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan sehingga menciptakan kondisi optimum untuk pencernaan pakan, dan meningkatkan efisiensi konversi pakan. Zat nutrisi pakan pun menjadi mudah diserap. Manfaat lain adalah meningkatkan kesehatan ternak, mempercepat pertumbuhan, memperpendek jarak beranak, menurunkan kematian pedet, dan memproteksi dari penyakit penyebab penyakit tertentu. Pada akhirnya probiotik dapat meningkatkan produksi daging maupun susu.

Di pasaran, kita mengenal beberapa bioteknologi probiotik yang sudah lama beredar seperti Starbio, Bioplus, dan Biosuplemen. Beragam formula itu menawarkan beberapa kelebihan yang berbeda.


Biotetes

Di luar itu, sekarang ada lagi terobosan bioteknologi karya warga Gorontalo, yakni Biotetes Sozo FM-4. Menurut Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad, pihaknya sudah menerapkan pola penggemukan sapi dengan formula tersebut. Hasilnya, peternak Gorontalo sudah bisa memenuhi kebutuhan daging bagi masyarakat setempat. Bahkan, lanjut dia, melalui kebijakannya dalam setahun ke depan akan mulai mengekspor daging sapi lokal berkualitas ekspor ke Malaysia. “Dengan penambahan suplemen Sozo FM-4, penggemukan sapi itu menghasilkan daging berkualitas ekspor. Seperti tak berbau, berwarna merah cerah, sedikit lemak, lebih empuk, dan gurih meski diolah tanpa bumbu,” tandasnya. Di Gorontolo, imbuh Fadel, para peternak telah menggunakan Sozo FM-4 sejak setahun lalu. Dampaknya, peternak memperoleh keuntungan berlipat ganda. Manfaat nutrisi alami ini pun sudah dinikmati para peternak di Kalimantan.

Awal Desember, Fadel datang ke Bandung untuk menyaksikan pemotongan sapi yang telah diberi perlakuan Sozo. Pemotongan dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH) Cirangrang, Kopo, Kota Bandung.


Formulator Sozo, David Andi, menyatakan, sapi yang digemukkan dengan menambahkan biotetes Sozo FM-4, selain lebih cepat gemuk dan dagingnya padat, juga rasanya gurih serta berserat lebih halus. ”Kotorannya pun tak berbau dan bisa langsung digunakan sebagai pupuk kompos tanpa harus difermentasi,” ungkapnya sembari mencium kotoran sapi itu.


Aji Cucu Anggara, seorang pedagang daging grosir di Pasar Andir, Kota Bandung, mengaku, baru petama kali mendapatkan daging sapi segar, berwarna merah cerah, tak berbau, dan berserat halus. ”Daging sapi ini termasuk grade A. Dan daging semacam ini banyak diminati konsumen,” komentarnya sambil menepuk-nepuk karkas sapi yang dipotong di Cirangrang itu.


Pakan Irit, ADG Naik

Boleh percaya atau tidak, kehadiran Sozo bisa menjadi angin segar bagi pengembangan usaha penggemukan sapi potong di tanah air. Betapa tidak, selain meningkatkan kualitas daging, secara signifikan formula tersebut mampu meningkatkan ADG, mengirit pakan, dan mereduksi dampak negatif limbahnya terhadap lingkungan.


Sozo FM-4 sudah dicoba di LJP selama 92 hari penggemukan. Dari 30 ekor sapi yang diuji, 8 ekor di antaranya sudah dipotong. Indeks pertumbuhan sapi yang diberi perlakukan feed suplement itu rata-rata mencapai 44,8%. Sementara kontrol hanya 31,8%. Pun ADG-nya, dengan aplikasi Sozo FM-4, rata-rata menghasilkan 1,615 kg. Kontrolnya rata-rata 1,221 kg.


Bukan hanya itu, menurut Toni, dengan menambahkan Sozo, pemberian pakan bisa ditekan menjadi 8 kg/hari/ekor. Padahal, untuk setiap kenaikan satu kg bobot badan sapi potong diperlukan pakan rata-rata 10 kg/hari/ekor (tergantung bobot badan).


Aplikasi Sozo pun terbilang mudah. Menurut David, penggunaannya cukup diteteskan pada air minum atau pakan. Dosisnya, satu tetes per 40 kg bobot badan sapi. Frekuensi pemberian sekali sehari, selama masa penggemukan. Biotetes itu dijual dalam kemasan botol mini 10 ml atau berisi 200 tetes.


Tentu, dengan penambahan Sozo, biaya pakan bertambah. Dari hasil uji coba di LJP, tambahan biaya itu Rp1.000/ekor/hari. Walau begitu ada selisih ADG 0,394 kg/hari. Bila harga sapi hidup dihargai Rp18.000/kg, maka diperoleh penambahan Rp7.092/hari.


Penambahan pendapatan juga diperoleh dari selisih konsumsi pakan sebanyak 2 kg, atau sekitar Rp3.000. Dengan demikian, tambahan keuntungan per harinya sebesar Rp9.092. Kalau digemukkan selama 90 hari, berarti pendapatannya Rp818.280/ekor. Angka ini belum menghitung selisih karkas. Sedangkan dari hasil pengujian di LJP, karkas belum potong lemak dari sapi yang diberi perlakuan Sozo FM-4 sekitar 52%—55%. Kontrolnya sendiri berkisar 51%—53%.


Anda masih belum yakin? “Terus terang, LJP pun termasuk perusahaan yang sulit untuk orang melakukan penelitian. Karena sebelumnya banyak orang yang berdagang dan mengiming-imingi ADG bisa naik 2—4 kg. Tapi ternyata hanya main-main,” aku Toni. Pihaknya mau melakukan penelitian Sozo karena ditantang apapun pihak Sozo mau. Waktu itu juga pihak Sozo tidak mengiming-imingi ADG akan naik sekian. Hanya disebutkan bau kotoran sapi akan menurun dan kualitas daging meningkat. “Setelah diteliti, ternyata dari bobot badan pun ada perbedaan antara yang diberi perlakuan dengan kontrol,” jelasnya.


Kendati demikian, menurut Yudi, teknologi tersebut bisa diadopsi bila ketersediaan sumber pakan dapat teratasi lebih dulu. “Mengenai probiotik itu, kita harus mengadvokasi peternak yang tidak punya riset pakan. Kalau perlu difasilitasi pemerintah, lalu disosialisasikan kepada para peternak. Soalnya, improvement feedlot dalam teknologi pakan jauh lebih tinggi ketimbang peternak,” saran Yudi.

Dadang WI





Tidak ada komentar: