Minggu, 25 Januari 2009

Peluang Usaha Laundry

Meraup Uang Jutaan dari Laundry Bulanan
Laundry dengan hitungan per potong sudah sangat jamak. Sistem kiloan sudah mulai banyak ditemui, tetapi sangat jarang yang menetapkan harga atas dasar ukuran bulanan, seperti bisnis yang dijalankan Widyawati Irda. Russanti Lubis.
Tidak pernah ada satu manusia pun di muka bumi ini, yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Karena, itu, setiap manusia wajib membekali diri dengan cara apa pun, untuk menghadapi hal-hal yang tidak terduga, sekali pun hal ini tidak menjamin manusia tersebut terbebas dari hal-hal yang tidak diinginkan. Seperti sering dikatakan, untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, tapi manusia tetap wajib berusaha.
Berbekal pandangan ini, Widyawati Irada, mantan engineer pada sebuah perusahaan elektronik di Muka Kuning, Batam, membuka usaha laundry bersama dengan partnernya, Endrayani. “Tujuanku membuka usaha ini selain untuk menambah penghasilan, juga agar tetap terus eksis dan berkarya meski ‘cuma’ ibu rumah tangga. Aku juga nggak mau 100% bergantung sama suami, karena kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi di depan sana. Jadi, kita wajib membekali diri. Di samping itu, dengan membuka usaha, muncul suatu keharusan untuk terus mengasah diri. Aku yakin banget hal ini berdampak positif pada kualitas pengasuhan anak-anakku, khususnya,” kata Adhe, begitu orang-orang menyapanya.
Di sisi lain, saat laundry ini dibangun (Februari 2003), bisnis laundry masih sangat jarang ditemui, terutama di perumahan-perumahan. Dengan demikian, pasarnya masih sangat luas, mengingat Batam dihuni ribuan pekerja pabrik yang hampir setiap hari kerja lembur, sehingga tidak memiliki cukup waktu untuk urusan cuci mencuci. Belum lagi cuaca Batam yang sukar diramalkan. Sedangkan pembantu rumah tangga selain susah dicari, standar gajinya juga sangat tinggi. “Padahal pekerjaan ibu rumah tangga itu tiada habisnya. Jadi, daripada direpotkan oleh masalah cucian ya dilaundry saja atau setidaknya mempercayakan urusan menyeterika baju-baju mereka ke laundry,” ujarnya. Di sisi lain, mencuci dan menyeterika merupakan pekerjaan yang paling gampang dan dapat disambi mengurus anak-anak.
Dengan modal awal sekitar Rp200 ribu yang hanya digunakan untuk membeli gantungan baju, keranjang baju, kantung plastik, dan jemuran mengingat mesin cuci, setrikaan, dan tempat menjemur pakaian sudah tersedia, kedua nyonya rumah ini membuka usahanya yang diberi nama Familia Laundry. Dalam perjalanannya, ada penambahan alat-alat lain seperti steamer, tag gun, dan tag pin untuk identifikasi baju masing-masing pelanggan. Selain itu, mencuci dan menyeterika yang semula dikerjakan sendiri, setahun kemudian dibantu dua karyawan. “Ketika tersadar rumah kami sudah sesak dengan baju-baju, kami membeli satu unit rumah untuk ruang produksi dan mess karyawan, serta satu unit mobil untuk operasional, beberapa mesin cuci dan alat pengering dengan pinjam ke bank sebesar Rp200 juta. Kami juga memperlebar pelayanan kami yang pada awalnya cuma di Batu Aji ke Tiban, Nagoya, Sungai Panas, dan Batam Centre,” katanya.
Familia Laundry menyediakan pelayanan laundry bulanan dengan tarif Rp80 ribu/bulan, laundry kiloan (Rp6 ribu/kg), dry cleaning (mulai dari Rp15 ribu/piece), laundry bed cover (mulai dari Rp15 ribu/piece), laundry karpet/permadani (Rp7.500/m²), laundry linen untuk spa, dan laundry seragam karyawan perusahaan. Dengan jumlah pelanggan tetap sekitar 150 baik keluarga maupun perorangan, setiap bulan dibukukan omset sebesar Rp25 juta. “Kami memperlakukan setiap pelanggan dengan cara khusus. Hampir semua permintaan mereka yang spesifik tapi masuk akal, kami penuhi. Yang pasti, masing-masing baju pelanggan kami cuci sendiri-sendiri. Ini yang tidak selalu dapat dijumpai di semua laundry, sekali pun kapasitasnya laundry besar,” ucap Adhe yang sering kebanjiran order saat menjelang lebaran, natal, dan imlek.
Untuk menambah pemasukan, di samping berpromosi dengan menyebarkan brosur dan beriklan secara kontinyu, Familia Laundry menjalin kerja sama dengan pengusaha busana muslim di mana member atau non member mereka yang berbelanja dengan nominal tertentu akan mendapat diskon 10% di Familia Laundry, sedangkan pelanggan laundry ini berpeluang mendapat voucher diskon untuk menjadi member mereka. “Kami juga berencana bekerja sama dengan beberapa teman di bidang-bidang usaha yang lain, seperti pengusaha gorden/vitrage,” kata ibu dua anak yang bermimpi menciptakan gaya hidup mencucikan pakaian di mal, sambil cuci mata ini. “Kelar jalan-jalan, mampir lagi ke laundry, cucian sudah kering, bersih, rapi, dan wangi,” imbuhnya.
Waralaba? “Belum ada rencana. Kami juga belum membuka cabang. Yang ada hanya agen yang tersebar di Tiban, Sagulung, Batam Centre, dan Muka Kuning. Agen-agen ini bertugas mengumpulkan baju kotor milik pelanggan, lalu baju-baju itu kami jemput, diproses, dan akhirnya dikembalikan lagi dalam kondisi bersih ke agen. Saat ini, aku lebih tertarik memotivasi para ibu rumah tangga untuk mengikuti jejakku. Untuk itu, aku membuat website tentang usahaku ini serta memberi kesempatan kepada mereka, dengan membuat dan menjual CD (compact disc) yang berisi panduan praktis dari A–Z tentang cara membuka usaha laundry, memilih baju pelanggan, dan lain-lain.
Dengan cara ini, aku ingin memperkenalkan laundry keluarga secara lebih luas. Harapanku, semakin banyak ibu rumah tangga yang membuka usaha laundry, selain tingkat ketergantungan terhadap suami berkurang, juga masyarakat dengan sendirinya akan semakin terdidik menggunakan jasa laundry sebagai bagian dari gaya hidup mereka,” ucapnya. Bagaimana ibu-ibu?

© 2009 Majalah Pengusaha - Peluang Usaha dan Solusinya
Selengkapnya...

Peluang Usaha Tempe


Tempe Pun Sampai ke Mancanegara


Dengan memodifikasi bahan baku dan eksperimen produk Zaeni berhasil mengembangkan tempe nya ke Australia dan Jepang. Kiatnya? Russanti Lubis Orang bule makan tempe? Ya, makanan yang menurut sejarah berasal dari Jawa, khususnya Surakarta dan Yogyakarta, ini kini tidak hanya dikonsumsi masyarakat Indonesia, tetapi juga masyarakat mancanegara. Karena, lauk pauk yang kaya akan protein nabati dan serat seperti : kalsium, vitamin B serta zat besi ini dapat dijadikan sebagai pengganti daging, sehingga sangat digemari dan dicari oleh—terutama--kaum vegetarian di seluruh dunia.

Mengetahui hal ini, sebuah perusahaan ekspor impor makanan menggandeng Zaeni, pengusaha tempe di kawasan Buaran, Jakarta Timur, untuk mengekspor tempe ke Australia dan Jepang, pada 1997 lalu. Pengapalan makanan yang terbuat dari kacang kedelai yang difermentasikan ini, dilakukan dua kali dalam setahun, masing-masing sebanyak 5 ton kedelai atau kira-kira setara dengan 15 ribu bungkus tempe.

“Awalnya, sebuah perusahaan ekspor impor makanan ingin mengeskpor tempe. Lalu, perusahaan tersebut mencari ‘perusahaan’ tempe yang bukan cuma produknya yang memenuhi standarisasi sebuah usaha, melainkan juga tempat usahanya. Kebetulan, seorang kenalan dari Departemen Perindustrian menawarkan kerja sama tersebut ke saya. Peluang itu saya, ambil,” kata Zaeni, pengusaha tempe ekspor.

Sebelum tempe diekspor, Zaeni harus melakukan riset secara bertahap untuk memastikan bahwa produk tersebut aman dikonsumsi oleh masyarakat mancanegara. Selama setahun, dia harus melakukan berbagai eksperimen. Sesudah itu, baru dikirimkan ke Australia dan Jepang. Mula-mula 5 kg/bulan untuk masing-masing negara, kemudian 10 kg/bulan, dan akhirnya 5 ton/negara setiap setengah tahun. “Proses itu berlanjut sampai sekarang,” ujar Zaeni, mengisahkan ekspor tempenya.

Apa sih hebatnya tempe Zaeni sehingga mampu diekspor? “Saya menggunakan kedelai yang lebih berkualitas dan melalui proses seleksi yang ketat. Hanya kedelai yang berwarna putih bersih yang saya gunakan. Karena itu, tempe saya mampu bertahan selama setahun, sedangkan yang untuk pasar lokal hanya bertahan 2 sampai 3 hari. Selain itu, tentu saja harganya lebih mahal, dua kali lipat daripada yang untuk konsumsi setempat,” ujarnya. Sekadar informasi, untuk tempe mendoan, Zaeni menjualnya dengan harga Rp500/bungkus, untuk yang dibacem atau digoreng biasa Rp150/bungkus, dan yang dikemas dalam plastik dengan berbagai ukuran Rp2.500,- hingga Rp4.000,- per kemasan.

Selain membuat tempe, Zaeni yang membangun usahanya sejak 1978 juga membuat susu kedele sebagai alternatif susu untuk bayi. Namun, karena mahalnya biaya produksi, susu tempe ini masih disimpan di laboratorium dan belum diproduksi serta dipasarkan. Di samping itu, saat ini ia juga sedang menjalin kerja sama dengan sebuah perusahaan untuk memproduksi dan mengembangkan kerupuk tempe, yang nantinya dipasarkan ke luar negeri. “Sebenarnya, apa yang saya lakukan itu hanyalah bagian dari percobaan-percobaan untuk membuktikan bahwa tempe bukan cuma dikonsumsi dengan cara yang begitu-begitu thok, melainkan juga dapat dikembangkan sama halnya dengan terigu, sehingga orang tidak jenuh makan tempe,” jelasnya.

Zaeni optimistis pasar tempe masih terbuka luas. Apalagi kalau mau terus menekuni dan belajar. Ide-ide baru dicoba, inovatif, “saya yakin pasar untuk tempe selalu ada.” Karena, sama halnya dengan bisnis-bisnis pada umumnya, dalam bisnis tempe, tidak cukup sekadar mengetahui bagaimana caranya membuat tempe, melainkan juga segala tetek bengek usaha ‘pertempean’ seperti bagaimana caranya membuat konsumen tidak membeli tempe sekali saja dan dalam jumlah sedikit, tetapi berkali-kali dan dalam jumlah banyak. Bukan cuma sudah merasa mampu membangun bisnis tempe, melainkan juga siap mental dan modal. Bukan hanya fokus pada produksi, melainkan juga menguasai pasar. “Semua ini bagian dari pemasaran juga loh,” katanya.

Selain itu, tambah dia, di satu sisi, usaha tempe juga sangat menolong mereka yang putus sekolah dan tidak berpeluang menjadi karyawan. Sebab, tempe merupakan bisnis dengan modal kecil dan bahan baku gampang. Di sisi lain, merajalelanya penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh daging, flu burung misalnya, bisa mendongkrak penjualan tempe hingga 10%. “Jika dalam satu pasar terdapat kira-kira 40 pengusaha tempe dan masing-masing memproduksi 100 kg kedelai/hari, total dalam sehari diproduksi 4 ton kedelai. Dengan adanya kenaikan penjualan 10%, berarti terjadi kenaikan produksi 400 kg kedelai/hari. Sebuah bisnis yang murah meriah, bukan?” imbuhnya.

Zaeni sendiri membangun bisnis ini dengan modal Rp1 juta dan omset harian 200 kg kedelai atau setara dengan Rp 800 ribu/hari. Setiap hari, dia dan lima karyawannya memproduksi 200 kg sampai 300 kg kedelai atau sama dengan 600 bungkus tempe dengan berbagai ukuran dan kemasan. “Kami berproduksi setiap hari, tidak ada istilah libur di sini. Karena, orang juga tidak pernah libur makan tempe, bukan?” timpalnya. Selanjutnya, tempe-tempe itu dibawa ke pasar. Di samping menjual eceran untuk konsumen, tempe itu juga dijual secara grosiran atau memasok ke para tukang sayur, yang dianggap sebagai agen. Kepada para agen, saya menjual lebih murah sekitar 40%,” ujar Zaeni yang mengembangkan usaha tempenya di home industry sekaligus rumah tinggalnya seluas 225 m².

Kedepannya, Zaeni berencana mengembangkan pasar tempenya lebih luas lagi. Selain pasar domestik, dia masih mencari peluang pasar mancanegara lainnya, di luar Jepang dan Australia. Ibarat plesetan motto sebuah media, tempe (memang) enak dimakan dan perlu, menjanjikan omset menggiurkan pula.
© 2009 Majalah Pengusaha - Peluang Usaha dan Solusinya
Selengkapnya...

Management


Teman tapi Marketing, Kunci Sukses Konro Mamink Daeng Tata
Monday, 23 July 2007

Menghampiri, menyapa dan berbicang kepada para tamu sebagaimana layaknya seorang sahabat merupakan kiat Mamink Daeng Tata menggaet pelanggan . Fitra Iskandar Seorang pria berbaju koko hitam dan kopiah putih dengan tali di atas, mirip topi tradisional Turki, menyapa para tamu yang sedang bersantap. “Minuman ini akan lebih enak kalau ditambahkan duren di dalamnya,” ujar pria tersebut yang tak lain adalah H Muhamad Amin Rahim, atau sering disapa Mamink, pemilik retoran Mamink Daeng Tata.

Kemudian sambil melemparkan candaan- candaan kecil ia menuangkan butir demi butir buah durian yang ia ambil dari meja lain itu ke gelas- gelas tamunya yang hanya bisa tersenyum senyum. Bagi yang tak biasa, tingkah Mamink ini akan membuat kikuk, karena mereka mengira tambahan buah durian tersebut akan menambah digit rupiah yang harus dibayar. Tetapi memang demikian Mamink memperlakukan para tamu. Menyapa tamu, menemani bercakap-cakap, sampai menambahkan menu yang tidak dipesan tamu seperti di atas merupakan pemandangan yang biasa di temui di warung makan Mamink Daeng Tata. “Itu merupakan rasa terimakasih dan pelayanan terhadap para tamu yang datang ke rumah makan saya,” tutur Mamink. Pendekatan yang sangat mesra dan bersahabat tersebut pada saat ini popular dengan istilah Teman Tapi Mesra (TTM), tetapi Mamink menyebutnya Teman Tapi Marketing.

Melayani tamu dengan personal touch mungkin saja merupakan kunci dari keberhasilan pengusaha rumah makan dengan sajian masakan khas Makassar ini. Mamink menganggap rumah makannya yang selalu ramai tak terlepas dari buah keakraban yang selama ini ia lakukan terhadap pelanggannya. Memang ada pameo dalam bisnis yang mengatakan “bisnis ya bisnis, teman ya teman. Bagi Mamink pameo itu tidak lantas ditelan mentah-mentah. Sehingga, menurutnya, salah satu kunci sukses bisnis rumah makan adalah silaturahmi.Memberikan menu yang tidak di pesan kepada tamu secara gratis bukanya akan membuat rugi? Mungkin saja. tapi Mamink punya argumen sendiri. “Hitungannya begini: jika makanannya enak dan pelayanannya memuaskan akan ada 5 orang yang datang, satu orang akan cerita ke 5 orang temannya yang belum pernah datang ke restoran, berarti 5x5 =25. Tapi kalau makanannya tidak memuaskan ditambah pelayanan yang seadanya mungkin hanya 3 orang yang datang. Berarti 3x3=9 selisihnya jumlah tamu yang datang 16 orang.” Itu namanya TTM. Teman Tapi Marketing,” kelakar Mamink, memplesetkan judul lagu kelompok Musik Ratu yang terkenal itu.

Saat masih membuka warung kaki lima, Mamink punya cara untuk mendatangkan pengunjung. Selain memilih terpal yang warnanya berbeda dengan tenda kaki lima pada umunya yang berjejer di Jalan Soepomo, ia menyebarkan brosur dan menjalin kerjasama atas dasar pertemanan dengan para supir taksi. Supir taksi yang membawa tamu ke warungnya digratiskan makan, sehingga warungnya semakin dikenal. Sekarang ini ia memanfaatkan teknologi SMS untuk sekadar menyampaikan sapaan atau candaan kecil kepada pelanggannya yang sudah lama tidak berkunjung.Kiat, dengan ruh silaturahmi, ternyata sangat jitu.

Rumah makan Mamink Daeng Tata berkembang sukses. Mamink berhasil menggeser bisnisnya yang dari omset 50 porsi perhari saat usahanya masih beratap terpal (1993) dengan tenda ukuran 5X8 di Jl Soepomo, menjadi 400 porsi perhari. Itu baru dari restonya yang berada di Casablanca 33, belum terhitung dari tiga tempat lainya di Jl Abdullah Syafie, Tebet Utara dan Jl. Panjang. Di penghujung 2006, Mamink Daeng Tata membuka cabang lagi di Bandung.Selain kemampuannya menjalin relasi, Mamink juga mempunyai keahlian menciptakan menu istimewa “tata ribs” (tulang iga sapi panggang). Selain itu menu makanan khas Makassar lainnya juga menjadi andalan Mamink, seperti sop konro, soto sodara, es palu butung dan es pisang hijau. Beberapa bumbu seperti cabe dan tomat langsung didatangkan dari Sulawesi.
© 2009 Majalah Pengusaha - Peluang Usaha dan Solusinya

Selengkapnya...

INSPIRASI USAHA

Joko Santoso, Jutawan dari Kertas Bekas


Lelaki ini, tidak mengira bila ia akan memperoleh kesuksesan hanya dari jualan kertas bekas.HR KurniawanPenampilannya amat bersahaja. Bila bertatap muka dengannya, tidak salah bila anda akan terkecoh. Bisa jadi anda akan menganggap dia sebagai kacung atau buruh. Padahal dia merupakan salah satu orang kaya di Jogja yang mengandalkan sumber pendapatkan dari kertas-kertas bekas yang menurut orang lain mungkin dianggap tidak bernilai. Itulah Joko Santosa. Bapak dua anak ini, memang bos UD Sregep yang secara khusus bergelut dalam bisnis kertas bekas.Tidak berlebihan rasanya bila menyebut Joko Santosa sebaga pengusaha yang sukses menggeluti bisnis kertas bekas. Dia memang menjadi salah satu pemasok besar untuk pabrik-pabrik pengolah daur ulang kertas yang berlokasi di Surabaya dan kota-kota lain di Jawa Timur.Setiap hari. Joko mengaku berhasil mengumpulkan puluhan ton kertas bekas, yang umumnya didapat dari berbagai kantor pemerintah maupun percetakan yang ada di Jogja dan sekitarnya. Ia merasa tidak kesulitan untuk menyalurkan kertas tersebut karena sudah ada beberapa pabrik yang siap menampungnya. “Saya sudah punya kontrak dengan beberapa pabrik pengolah kertas jadi untuk pemasaran tidak ada masalah,” kata baapak dua anak yang dibantu lebih dari 40 tenaga kerja ini.

Joko tidak mengira, bahwa kertas bekas ternyata bisa mengubah penghidupan keluarganya. Sebelum menggeluti bisnis kertas, ia sudah mencoba bisnis lain termasuk penggilingan padi yang akhirnya bangkrut.Ia mulai menggeluti bisnis kertas daur ulang sejak tahun 1993 silam. Ia tertarik setelah kenal dengan pengusaha keturunan Tionghoa yang telah lebih dahulu mengeluti bisnis kertas bekas. Pengusaha tersebut kebetulan sering carter mobil yang dimiliki Joko Santosa untuk mengangkut kertas. “Dari sinilah saya mulai tertarik karena saya lihat gampang,” katanya.

Awalnya, Joko mencari kertas bekas dari pasar ke pasar, lalu dijual ke pengusaha kertas yang telah dikenalnya tersebut. Ia menjual tabungan cincin emas seberat 10 gram yang dimilikinya.Joko mengaku mengawali bisnis kertas dengan cara gresek dari pasar ke pasar. Ketika itu, memang belum banyak yang melihat nilai ekonomi kertas bekas. Kertasa masih dianggap sebagai sampah yang tidak berharga dan harus dimusnahkan. Maklum ketika itu, memang belum banyak perusahaan yang mendaur ulang kertas. Tapi seiring dengan kian langkanya bahan baku bubuk pulp, kertas bekas akhirnya dilirik sebagai bahan baku menggantikan kayu pulp. Apalagi setelah dikembangkan teknologi daur ulang yang menghasilkan kertas berkualitas dari kertas bekas.

Joko memang bukan pemain pertama dalam bisnis kertas bekas untuk didaur ulang. Tapi, ia memasuki bisnis ini pada saat yang tepat, karena ketika itu mulai bermunculan produsen kertas yang memanfaat bahan baku dari kertas daur ulang. “Semula saya hanya setor ke juragan yang ada di Jogja, tapi tidak lama kemudian punya akses langsung ke pabrik,” kata pemilik UD Sregep ini..

Bisnis Joko mulai berbinar ketika ia memiliki ide untuk membeli kertas bekas yang ada di kantor-kantor pemerintah dan swasta. Ia memang melihat potensi pasar yang cukup besar dari lembaga pemerintah dan swasta tersebut. Kertas memang menjadi kebutuhan pokok untuk kegiatan administrative, maupun dokumentasi.
Tapi untuk mendapatkan kertas tersebut dibutuhkan teknik dan kesabaran tersendiri. Maklum dokumen kantor diklasifikasikan sebagai produk yang harus dijaga kerahasiaannya. Karenaa itulah, banak dokumen yang tidak lagi dipakai biasanya dimusnahkan dengan dengan cara dirajang atau dibakar. Bahkan setelah dirajang kemudian dibuang ke tempat sampah karena dianggap sebagai barang yang tidak bernilai ekonomi.Setelah yakin melihat potensi pasar yang begitu besar, Joko Santosa memberanikan diri untuk mendatangi dari kantor ke kantor dengan berbekal sepeda motor. Awalnya banyak kantor yang keberatan untuk menjual kertas dokumen mereka. “Dtolak sudah biasa bagi saya,” ungkapnya.

Meski sering ditolak, Joko tidak patah semangat. Ia terus mendatangi bagian yang memiliki kewenangan untuk menjual kertas. Kesabaran ternyata membuahkan hasil, setelah beberapa kali ditolak, keberuntungan akhirnya berpihak kepadanya. Sebuah kantor yang biasa ngurusi logistic bersedia menjual kertas-kertas yang tidak terpakai kepada Joko.Dari sinilah, semangatnya terus membara. Kisah keberhasilan membeli kertas dari kantor Bulog tersebut disebarkan kepada lembaga lain, dan akhirnya ikut-ikutan menjual kertas kepada Joko. “Alhamdulilah lama kelamaan banyak kantor yang berani menjual kertas kepada kami,” tandasnya.

Joko mengaku mendapatkan keuntungan yang cukup lumayan dari bisnis ini. Apalagi ketika terjadi krisis moneter tahun 1998 silam. Maklum ia bisa membeli dengan harga murah tapi menjual dengan harga tinggi. Keuntungannya bisa sampai seratusan persen lebih. Sebagai gambaran, ia membeli kertas seharga Rp 500 /kg, yang kemudian dijualnya seharga Rp 1000 kepada pabrik pendaur ulang di Surabaya. “Awalnya saya nunut jual dari pengusaha kertas yang ada di Jogja, tapi kemudian bisa menjual langsung sendiri,” tandasnya.Tak mengerankan, Joko yang semula hanya bermodal sepeda motor dan lima karyawan, akhirnya berhasil membeli beberapa unit mobil pengangkut. Saat ini, jumlah karyawannya mencapai 40 orang dengan jumlah kendaraan khusus pengangkut kertas 16 truk. Belum lagi mobil pribadi yang juga berhasil dibeli dari uang kertas tersebut.Joko merasa beruntung, sejak awal menentukan pilihan untuk konsentrasi sebagai pedagang kertas daur ulang. Posisinya kian mantap dan tak tergoyahkan walau tingkat persaingan kian ketat.Dengan munculnya pesaing tersebut, tidak membuat pasar Joko menyempit. Hanya saja diakui, banyaknya pelaku bisnis kertas daur ulang telah mengurangi margin keuntungan yang diperolehnya. Ia tidak lagi bisa mendapatkan keuntungan yang besar, karena harga semakin kompetitif dan tentu saja pabrik akan memilih harga yang termurah. “Margin keuntungan tidak lagi besar,” tandasnya.Meski membuat banyak pesaing, Joko mengungkapkan masih bisa menguasai pasar. Maksudnya masih banyak kantor yang percaya kepadanya untuk menampung kertas bekas. Padahal kalau ditilik dari harga, ia membeli dengan harga yang lebih murah dengan selisih sekitar Rp 200 dibandingkan dengan competitor lain.

Menurut Joko, faktor kepercayaan memang menjadi latar belakang kenapa banyak kantor yang menjual kertas bekas kepadanya. Ia memiliki kiat khusus untuk mendapatkan kepercayaan tersebut, dengan memberikan jaminan bahwa kertas bekas yang dibeli dari manapun akan dimasukan ke pabrik untuk didaur ulang, tidak dijual eceran kepada pedagang lain. “Semua kertas yang kami tampung dijamin masuk pabrik untuk didaur ulang,” ungkap bapak dua anak ini.

Joko menyadari bahwa kertas bekas yang dibelinya memiliki rahasia yang harus dijaga, karena itulah ia berani tetap menjamin rahasia tersebut, dengan cara tidak mengobral ke konsumen umum atau pedagang eceran. Bukan rahasia lagi, selama ini banyak kertas bekas yang digunakan untuk kertas foto kopi maupun sebagai pembungkus produk makanan. “Nah kalau kita jual eceran, bisa jadi data atau isi yang ada di kertas tersebut tersebar ke masyarakat umum, inilah yang tidak diinginkan perusahaan yang sangat menjaga kerahasiaan,” paparnya.

Masih menuntut Joko, saat ini semakin banyak peruahaan besar yang mengandalkan kertas bekas sebagai bahan baku. Beberapa diantaranya, Suparma dan Leces di Jawa Timur. Setiap hari ia mengaku bisa mengumpulkan 10 ton kertas bekas. Harga kertas tergantung jenisnya, untuk Koran ia bisa membeli antara Rp 1200-1300,- sementara untuk kertas HVS bisa lebih mahal lagi karena mencapai Rp 1500. Belakangan ini, Joko juga dipercaya untuk membeli buku dari beberapa percetakan besar di Jawa Tengah yang sudah tidak terpakai.

Joko juga menjelaskan bahwa saat ini, margin keuntungan yang diperolehnya hanya kisaran belasan persen. Karena itulah, ia lebih senang mengejar omset penjualan yang lebih besar. “Saat ini, bisnis kertas masih cukup cerah..” tandasnya
© 2009 Majalah Pengusaha - Peluang Usaha dan Solusinya
Selengkapnya...