Kamis, 30 Oktober 2008

PETERNAKAN SAPI

Selalu Ada Pasar untuk Daging Sapi


Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Teguh Boediyana, Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo). Salah satu penyebabnya adalah para pebisnis menganggap usaha penggemukan sapi tidak lagi terlalu aktraktif karena marjin keuntungan yang tipis.


Perlu Dukungan Pemerintah

Menurut Teguh, bisnis feedlot juga membutuhkan investasi yang besar. “Jadi kalau ada pengusaha yang terus melanjutkan bisnis feedlot-nya, itu karena terlanjur berinvestasi sehingga terpaksa melanjutkan meskipun keuntungannya tipis,” jelas Teguh.


Dalam waktu pemeliharaan 90 hari, seekor sapi dapat memberikan keuntungan Rp1 juta—Rp1,8 juta/ekor. Agar mendapat keuntungan yang optimal, ia menyarankan untuk memelihara sapi dalam jumlah yang relatif besar. Berdasarkan hitungannya, skala 2.500 ekor dinilai pas karena tidak mengancam alur keuangan dan sesuai dengan kapasitas angkut kapal sekali jalan.


Di sisi lain, kegiatan penggemukan sapi skala rakyat terganjal dengan diterapkannya PPN sebesar 10% terhadap hasil penggemukan sapi. “Seharusnya pemerintah tidak terpaku untuk impor daging sapi, sebaliknya terus meningkatkan pembinaan terhadap usaha ternak sapi rakyat,” kata Supardi, Ketua Kelompok Penggemukan Sapi “Budi Daya”, Desa Karang Endah, Kecamatan Terbanggi Besar, Lampung Tengah.


Hal tersebut diamini oleh Didiek Purwanto, Direktur Produksi PT Great Giant Livestock yang mempunyai program kemitraan sapi dengan petani di Provinsi Lampung. “Sebaiknya kita tidak melakukan impor terus-menerus agar tidak bergantung pada daging impor,” kata Didiek. Ke depan, taambah dia, impor harus semakin dikurangi dengan terus melakukan pembibitan dan budidaya yang baik, serta peningkatan kualitas sumberdaya manusia.


Dengan konsumsi daging nasional yang masih di bawah 2 kg/kapita/tahun dan pertambahan penduduk yang terus meningkat, prospek usaha peternakan sapi dinilai masih sangat baik oleh Prof. Dr. Ir. Kusuma Diwyanto, Peneliti Utama, Puslitbang Peternakan di Bogor. “Kendalanya ada di produksi, bukan di pemasaran. Jika peternak mampu berproduksi, pemasarannya selalu ada,” jelas Kusuma.

AGRINA


Tidak ada komentar: