Rabu, 31 Desember 2008

DEKLARASI RAJA-RAJA MANDAILING

Selama ini masyarakat yang bermukim di Tambagsel khususnya Kab. Madina dengan alasan yang tidak jelas enggan mengakui kalau mereka adalah bagian dari etnis batak, mereka menamakan diri etnis mandailing, walaupun sebenarnya Mandailing itu "Luat" bukan suku, berikut ini deklarasi raja-raja mandailing barangkali dapat menunjukkan kalau mandailing itu merupakan sub etnik dari suku batak.


BATAK MANINGGORING

Assalamoe alaikoem
Kami yang bertanda tangan dibawah ini:
Radja Mangatas
Soetan Soripada Panoesoenan
Mangaradja Panoesoenan
Soetan Koemala Boelan
Soetan Singa Soro Baringin
Mangardja Panobaoenan
Mangaradja Soetan Solengaon
Mangaradja Goenoeng Sorik Marapi
Soetan Pandapotan
Mangaradja Solompoon
Mangaradja Moeda Panoesoenan
Mangaradja Iskandar Panoeroenan
Soetan Bintang Pandapotan
Patoean Koemala Boelan
Masing masing radja panoesoenan (kepala koeria) di:
Pakantan Lombang
Pakantan Doeali
Oleoe
Tamiang
Msnambin
Kota Nopan
Panombangan
Maga
Pidoli Boekit
Kota Siantar
Panjaboengan Djoeloe
Panjaboengan Tonga
Goenoeng Baringin
Gewezen Kepala Koeria di Goenoeng Toea
Semoeanja dalam lingkungan onderafdeling Groot en Klein Mandailing, Oelo en Pakantan, afdeling Padang Sidempuan, Residentie Tapanoeli, menerangkan dengan sesoenggoehnja bahwa bangsa dari pendoedoek Mandailing itoe ia-lah bangsa “Batak”, sedangkan agamnja sebahagian besar “Islam” dan sebahgian ketjil sekali agama “Christen” ia-itoe dalam koeria Pakantan Lombang, Pakantan Boekit dan Kota Siantar.
Nama Mandailing itoe boekanlah nama bangsa akan tetapi nama negeri (loehak). Demikianlah soepaja terang akan adanja.Diperboeat dalam kerapatan radja2 Mandailing di Kajoe Laoet tanggal 18 Agustus 1922. Kami jang menerangkan (tanda tangan) BATAK sebenarnja boekan nama negeri ataoe nama agama, melainkan nama satoe bangsa di Indonesia tinggal di Residentie Tapanoeli..
Nama MANDAILING boekan nama bangsa, tetapi nama satoe loehak di Tapanoeli – Selatan mendjadi Batak Mandailing


-------------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan diatas merupakan salinan dari dokumen aslinya yang lengkap dengan tanda tangan para radja-radja Mandailing yang memberi pernyataan dapat dilihat di buku “AHU SISINGAMANGARAJA” karangan Prof. Dr. WB Sidjabat (Penerbit: SInar Harapan Jakarta, cetakan ketiga 2007, halaman 463).
Selengkapnya...

Selasa, 30 Desember 2008

PAROMPA SADUN KIRIMAN IBU

Parompa Sadun Kiriman Ibu

Cerpen: Hasan Al BannaSumber:
Kompas, Edisi 08/27/2006

Kembali rasa pedas itu membikin merah dan menggetarkan kedua matanya। Rasa itu pula yang kemudian menghimpun kesedihannya, lantas butir-butir air—hangat dan berasa garam—menghilir ke pipinya yang letih. Hembus napasnya berderak, dadanya sesak! Macam ada bongkahan bertaring yang kian detak kian membengkak. Oihdah, selalu ada pedih yang tak terkisahkan selain dengan lantak air mata. Semestinya Lamrina layak bersukacita. Bukankah hari ini telah dilangsungkan acara manjagit parompa, juga penabalan nama anaknya yang pertama? Memang sepanjang siang sampai petang menjelang, di bibirnya berpucuk senyum mengembang. Sesekali ia betulkan posisi tidur Uli yang baru berusia dua puluh delapan hari

Pada kesempatan lain ia sibuk membujuk bayinya yang mengoak. Tapi pulas lagi usai bergelayut di lemak dada Lamrina.Acara berlangsung meriah dan hikmat. Dengan senang hati ia sambut kerabat dan tetangga dekat. Para tamu silih berganti datang dan pulang. Mereka menyampaikan kata selamat, mengayunkan salam, memberi pelukan, dan berebut mencium pipi si buah hati. Di antara mereka ada yang meninggalkan bingkisan di sisi Uli. Sebagian lagi menyelipkan amplop berisi uang ke tangan Lamrina.

Namun ada alasan mengapa diam-diam Lamrina tak mampu menahan sesak yang berombak di dadanya। Seperti kini, ketika keramaian berganti lengang. Ketika denting piring-sendok hening, ia pun selalu gagal memenggal serbuan peristiwa yang hinggap di kepala. Peristiwa-peristiwa yang bersinggungan mengail-ngail air mata dari sepasang danau keruh di lereng dahinya. Ia pun bersekutu dengan tangis!

Pun ketika ia melipat parompa sadun kiriman ibu, buah air yang bening itu meleleh lagi. Berderai di pipi yang pasi. Sungguh Lamrina tak ingin meriakkan air muka kesedihan. Tapi selekas apa pun ia menyeka linangan di pipinya, lebih lekas lagi air mata mencipta telaga. Lalu bergulir membasahi parompa sadun di pangkuannya. Jemarinya memintali rumbai parompa yang menjulur. Tapi tentu itu tak membantu meniup debu keperihan dari mata hatinya.Parompa sadun, sebidang kain tenun adat berbentuk persegi panjang (mirip ulos Batak Toba)! Inilah sumber sebab yang membikin Lamrina dua bulan ini gelisah। Perasaannya bagai kapal pecah, kacau belah. Tak tentu antara gembira, bersalah, atau durhaka pada ibu, dan entahlah! Kalau tidak silap, usia kandungan Lamrina delapan bulan saat paket berisi salendang adat itu datang.

Hmm, ia menarik napas, berat। Udara ibarat berserat. Ia pandangi parompa sadun yang batal dimasukkan ke lemari. Bahkan perlahan ia buka lagi lipatannya, dan dihamparkan di atas springbed. Seketika Lamrina terkenang kampung halamannya, Sabatolang, daerah Sipirok-Tapsel. Ia pun terkenang pula dengan riuh sukacita acara manjagit parompa, acara adat Angkola menyambut kelahiran anak sulung. Pada acara itu diserahkanlah parompa oleh ompung—nenek dari pihak perempuan/ibu—kepada cucunya. Jika penyerahannya secara adat, seekor kambing syarat yang penting. Pemuka adat juga mesti hadir. Tapi jika hanya acara sederhana, cukup menyembelih ayam. Sedang undangan terdiri dari kerabat dan tetangga.
Do-li Ha-si-an! Lamrina mengeja nama lengkap Uli। Itulah dua kata yang tertera di atas parompa. Tulisan selebar tiga ruas jari telunjuk, melintang di salah satu sisi parompa. Di sisi lain tertera tulisan: Simbur Magodang (Sehat dan lekaslah besar). Tulisan-tulisan itu dirajut dengan manik-manik putih di atas kain yang didominasi warna hitam dan merah hati. Kedua warna itu berpadu dengan motif kuning, hijau, ungu, dan oranye. Tenunan yang kuat, cantik, dan serasi. Teringatnya, untuk kali kedua ia menerima kain yang sejenis. Dulu saat menikah, Lamrina pernah mendapat abit godang.

Tapi alah, mengenang abit godang bagi Lamrina seperti sedang merayakan upacara kepedihan yang lain di lumbung ingatannya. Ia berupaya menghalau kenangan tentang abit godang, tapi tak kuasa. Kain adat itu seperti melambai dari lemari, lantas terbang, dan rebah saja di samping parompa. Persis ia seperti parompa, hanya saja ukuran abit godang sedikit lebih besar. Pada sisi lebar yang satu, tertera nama lengkapnya, Lamrina Mintaito. Di sisi seberang ada nama Hadi Rusnandar. Lalu di bagian tengah ada petuah adat: Ulos ni Tondi dohot Badan/Gabe ma Hita Sude na Mamake (Selimut untuk semangat dan Badan/Kesenangan yang Hebatlah bagi Kita yang Memakai).Tapi pada simpang siur lamunan Lamrina, abit godang acap memaksanya berperam mata sambil menikami kelebat sesal। Abit godang seperti sebuah teko berkarat yang mengguyurkan kopi pahit ke gelas hatinya. Sungguh, tidak mudah mendapat abit godang sebagai simbol restu orangtua atas pernikahan anaknya. Tidak mudah merajut kedua nama mereka di atas abit godang.

Begini, setahun lalu Lamrina disarankan ibunya pergi ke Jakarta. Ya, untuk menggapai peruntungan yang lebih baik, begitulah. Maklum, ibu Lamrina lumayan berumur. Badan dan semangatnya sudah menyusut. Jalannya saja beringsut karena sudah lama mengidap rematik akut. Ibu Lamrina tak lagi menggarap sawah peninggalan ayah. Sudah lama itu disewa famili dengan harga murah. Beliau hanya berladang-ladang di belakang rumah.Lamrina pun berangkat ke ibu kota। Di sana ia menumpang di rumah amangtua—saudara ayah Lamrina yang tertua. Tapi belum sempat bekerja, Lamrina malah punya kenalan bernama Hadi Rusnandar, yang kemudian berniat melamarnya. Nah, ini pangkal persoalannya. Angan-angan ibunya agar Lamrina bekerja kemungkinan besar pupus. Lalu yang lebih prinsip, ibu Lamrina tak ingin jika Masniari, kakak tertua Lamrina, dilangkahi. Kakak Lamrina itu tinggal di kampung bersama ibu, dan belum menikah.

Keberatan ibunya dapat diterima akal, dan Lamrina paham perasaan ibunya। Ia yakin, ketidaksetujuan ibu bukan karena Mas Hadi berasal dari keluarga Jawa. Ibunya bukan orang tua yang kolot soal jodoh. "Pokoknya seagama," begitu pesan ibunya. Namun pemakluman Lamrina atas keberatan itu akhirnya kalah oleh desakan Mas Hadi. Apalagi secara tersirat, amangtua mendukung keputusan Lamrina. Amangtua pula yang berhasil menekuk hati ibu. Maka setelah tarik ulur yang melelahkan, akhirnya lamaran diterima. Pesta adat pun digelar dengan meriah di Jakarta. Dan ibu Lamrina turut menyaksikan.

Demikian pun, tidak sepenuhnya Lamrina berbaring di ranjang ketenangan। Setiap bertelepon ke kampung, ibunya sering mengeluhkan nasib kak Masniari yang belum juga ketemu jodoh. Tak jarang pula ibunya mengait-ngaitkan dengan pernikahannya. Pernikahan yang dianggap sebagai penghalang jodoh kakaknya. Ampun, ia layaknya sedang memangku dosa sebesar bulan.

Begitulah, mengenang abit godang senantiasa membuat Lamrina tak pernah tenang। Maka sejak menikah abit godang tersebut dibenamkan Lamrina jauh ke palung lemari. Tapi abit godang sudah tersimpan, parompa sadun pula yang sampai di tangan. Bagi Lamrina, itu kiriman yang tidak lazim. Mengapa? Karena parompa sadun semestinya diberikan jika anak sudah lahir. Lalu, mengapa di atas abit godang sudah tersulam nama: Doli Hasian? Bukankah nama itu berarti: Anak Laki-laki Kesayangan? Padahal hasil USG mengisyaratkan rahim Lamrina sedang mengasuh janin perempuan.

Hari itu juga ia menginterlokal tulang Dahler—adik bungsu ibunya. Seperti biasa, Lamrina berpesan jika Kamis lusa ia kepingin bicara sama ibunya. Tulang Dahler tinggal di pasar Sipirok, punya ruko buat usaha Sambal Taruma, keripik pedas khas Sipirok. Setiap Kamis ada pekan besar di Sipirok, dan ibu Lamrina selalu pergi ke sana. Entah hendak menjual hasil ladang, atau belanja untuk keperluan seminggu. Kalaupun tidak, ibunya berangkat ke Sipirok sekadar singgah di ruko tulang. Dan sebelum magrib sudah pulang ke Sabatolang.Tapi harapan Lamrina agar perasaannya damai tak tercapai। Malah di dadanya gelombang rusuh terus bertabuh. Demi Allah, Lamrina sudah hati-hati betul menyampaikan keganjalan hatinya soal parompa itu.
Tapi apa? Ibunya tersinggung! "Tak senang-nya kau menerima parompa itu?" Suara ibu Lamrina sedikit tinggi dari percakapan sebelumnya. Pertanyaan itu seperti gelegar halilintar. Jantung Lamrina berdebar, "Iya, Lamrina. Tak senang-nya kau….""Senang-nya aku, Bu…," potong Lamrina."Kau kirimkan lagilah parompa itu ke kampung." Kini suara ibunya menjurus ketus, "Atau yang tak senang-nya kau kalau cucuku laki-laki, iya?" Pertanyaan ibunya menyeret Lamrina ke pojok serba salah. Napas ibunya yang pendek-pendek dan bercampur isak terdengar di ujung telepon. Lalu berakhir dengan suara: tuut-tuut-tuut!Aduh, Lamrina merasa terlibat mematahkan semangat ibunya mendapat cucu laki-laki। Ia tahu betul mengapa ibunya sekilat itu menyemburkan api amarah. Dulu ibunya, juga almarhum ayahnya, kepingin kali anak pertama mereka laki-laki. Tapi anak perempuan yang lahir, dan diberi nama Masniari. Keinginan yang sama dibebankan kepada kandungan yang kedua. Tapi lagi-lagi yang lahir perempuan. Nama Doli Hasian yang lama dipersiapkan terpaksa berganti dengan nama Lamrina Mintaito. Mintaito merupakan doa yang artinya: Memohon Saudara Laki-laki. Besar harapan ayah-ibu Lamrina, anak ketiga yang lahir semoga laki-laki sebagai penerus marga.

Tapi harapan itu pun padam bagai bangkai bara yang hitam। Belum pandai Lamrina berjalan, ayahnya meninggal muda karena kecelakaan. Lalu ibunya tak punya niat untuk menikah lagi. "Ibu bangga menjadi janda karena marsarak tumbilang, cerai karena kematian. Dan ibu pernah berjanji, kalau ditinggal ayahmu karena marsarak tumbilang, ibu tak akan menikah lagi. Sekalipun ibu masih muda."

Tentulah ibunya tidak akan memiliki anak lagi. Maka berpindahlah harapan besar itu ke perut Lamrina. Harapan memiliki cucu laki-laki, juga harapan untuk memakaikan nama Doli Hasian. Nama yang dulu akan diberikan kepada Lamrina, seandainya ia laki-laki. Tapi kini harapan itu nyaris terkubur, karena hasil analisa dokter, anak yang dikandung Lamrina adalah perempuan. Iya, perkiraan itu masih bisa meleset. Namun ibunya telanjur tersinggung. Buktinya, sudah berapa kali Kamis Lamrina bertelepon ke ruko tulang Dahler. Tapi yang terdengar dari seberang bukan suara ibu, melainkan jawaban tulang Dahler: "Tak ada Ibumu kemari. Kudengar-dengar dia kurang sehat."Berhari-hari panas dingin tubuh Lamrina dibuatnya. Puncaknya, empat hari menjelang melahirkan, ia mendapat berita yang membuat tubuhnya lunglai, seperti baju yang teronggok di lantai. "I…bumu me…ninggal tadi ma…lam, kira-kira pukul sebelas…." Suara parau tulang Dahler yang berkabar singkat lewat telepon menjelang subuh.Maka meletuslah tangis Lamrina। Ingin rasanya ia berangkat ke kampung subuh itu juga. Menyungkurkan kepala ke jenazah ibu demi mempersembahkan permohonan maaf. Tapi itu jauh dari mustahil, karena kehamilannya sudah tiba di penghujung waktu. Kalau bukan karena memikirkan anak yang di dalam perutnya, sudah tentu ia terus meraung. Menenggelamkan diri di lautan murung. Untung ia punya suami yang sabar.

Memang hanya kesabaran yang dibutuhkan suaminya। Termasuk untuk membujuk Lamrina agar tidak bersedih menerima kelahiran anak perempuan mereka. Bahkan Mas Hadi dengan lapang dada tetap memberi nama Doli Hasian kepada anak perempuan mereka. Hanya disepakatilah nama panggilannya, Uli. Mas Hadi juga menganjurkan agar acara manjagit parompa tetap dilaksanakan dengan sederhana. "Demi menghormati arwah ibu," kata suaminya. Tapi Lamrina masih saja hanyut oleh anggapannya sendiri: "Aku gagal menebus kesalahan. Mengapa anakku tidak laki-laki seperti keinginan ibu?"

Ah, bagi Lamrina tidak mudah meredam hati yang resah. Tidak gampang menimbang perasaan yang bimbang. Butuh waktu lama meneguh semangat yang rapuh. Entahlah, setiap kali mengajak Uli bercanda, atau setiap kali memanggil nama anaknya, "Uli, Uli, anak sayang," serta-merta Lamrina seperti berbisik, "Ibu, Ibu, nasibmu, o, betapa malang!" Lantas ia pun akan kehabisan kekuatan membendung kabut basah yang mengapung di matanya. Bahkan matanya yang bersorot menerawang itu seperti dua tadah penuh kuah. Lalu tumpah menggarami luka hatinya yang menganga-merekah."Ibu, Ibu, maafkan Lamrina…!"Medan, 2006
Selengkapnya...

TIURMAIDA


TIURMAIDA
Cerpen: Hasan Al Banna
Sumber: Kompas, Edisi 06/03/2007


Amang oi! Kontan ia melonjak setengah berteriak. Induk jarinya pecah bercucur darah. Sambil menggendong tangan kirinya yang kebas, ia bergegas turun ke bawah. Mencari daun pagapaga untuk dikunyah, sesegera mungkin dilumurkan ke jarinya yang terbelah. Biasanya, pagapaga yang sudah bercampur ludah itu ampuh menyumpal luka yang merekah. Nian berhenti pula semburan darah. Tinggal menanggungkan denyutnya saja, seperti menahankan desakan puluhan jarum yang datang bergelombang menusuk ulu luka. Tentu perihnya yang meletup-letup itu akan mengombang-ambingkan tidurnya malam ini."Istirahatlah kau dulu!" Boru Pohan memberi anjuran."Iya, nanti tambah parah pulak luka kakak," ujar Togu sambil mengelebatkan martil ke bongkahan batu.

Tiurmiada baru saja memulai pekerjaan. Karungnya pun baru berisi sepertiga. Padahal, matahari yang melesat dari timur, sejengkal lagi melintasi kepala. Sesiang ini, Tiurmaida semestinya sudah menyelesaikan empat karung batu. Tapi satu karung belum genap, di jarinya seliang luka malah datang menyergap. Ia memang telat naik ke bukit. Tadi pagi Marsius mengamuk lagi. Baru beberapa langkah beranjak dari pintu, Tiurmaida mendengar lesatan umpat-serapah suaminya.Tiurmaida lalu berpaling langkah, menyurut sepasang kaki kembali ke rumah। Tadi, sebelum berangkat, ia sudah menyuapi Marsius. Bahkan selepas subuh Tiurmaida sudah memandikan suaminya, membersihkan kotoran Marsius yang basalemak di pisak celana, bahkan bercecer di sebagian badan. Lalu ia mengganti pakaian Marsius, juga menukar tikar tidurnya. Ya, Tiurmaida harus hati-hati melaksanakan rutinitas itu. Ia tidak boleh serampangan membuka-pasang gembok pasung. Ketika hendak memakaikan baju, ia cukup melepas kekangan di gelang tangan Marsius. Pun sebaliknya, melepas kaki yang terkunci jika hendak mengenakan celana.

Tiurmaida begitu tekun mengurus Marsius। Meski Marsius tak tentu waktu melampiaskan gerutu, ia tak pernah sanggup membiarkan suaminya dalam keadaan kacau. Ia setia menghalau setiap amuk yang menyuruk ke tubuh Marsius. Kadang tengah malam ia harus beranjak dari tidur yang nyenyak demi mendiamkan Marsius yang berteriak-teriak. Marsius memang tidak leluasa bergerak, tapi sering gigitan Marsius hinggap di tangannya. Bahkan, selebam luka gigitan pernah mendidih di dada kiri Tiurmaida. Ketika itu, ia sedang menenangkan Marsius. Tiurmaida berupaya mendekap, tapi rahang suaminya lebih dulu meretap.

Demi Tuhan! Sebetulnya Tiurmaida tak tega menyaksikan Marsius terlentang di atas dipan lapuk tak berkapuk dan dikekang beberapa balok dan rantai। Marsius tambah kurus. Matanya cekung, melengkung seperti sepasang sabit yang mencabik-cabik hati. Benar, terkadang tatapannya kosong bagai lorong teramat sepi. Tapi terkadang lorong itu menjadi dua tungku yang menyemburkan api. Dagu dan rahangnya seperti tebing curam, rapuh, dan penuh belukar. Tulang-tulang Marsius menonjol, membuat bagian tubuh yang lain seperti liang-liang kecil yang menganga. Punggungnya terkelupas karena sudah tergeletak kurang lebih tujuh bulan lamanya. Tapi apa hendak dikata, perangai suaminya tambah parah saja. Memasung Marsius adalah pilihan terbaik sekaligus menyesakkan bagi Tiurmaida.
Ia sudah mendatangi banyak datu, orang pintar yang dianggap sakti di kampung itu. Namun, hasilnya nol beku. Beberapa datu di kampung tetangga juga sudah dikunjungi. Lagi, harapan sembuh belum terpenuhi. Tapi selalu ada kekuatan lain yang membikin Tiurmaida bertahan. Selagi bersama Marsius, dadanya ibarat danau lapang yang siap menampung segala kepedasan hidup. Ia memilih tetap merawat suaminya meski akhir-akhir ini keluarga Baginda Paruhuman sering membujuknya agar meninggalkan Marsius. Dua hari lalu?entah yang keberapa kali?ibunya kembali datang."Apalah salahnya kalau kau menikah lagi.""Keputusan itu sudah kupikirkan masak-masak, Bu.""Masih muda kau itu, Tiur.""Iya. Tapi tak mau aku mangidolong!""Pikirkanlah sekali lagi।"

Tapi Tiurmaida menjawab dengan gelengan yang tegas। Ia tidak mau mangidolong meskipun itu diperkenankan hukum kampung. Berdasarkan isyarat adat, istri pantang meminta cerai. Andai terpaksa, mangidolong adalah satu-satunya jalan agar keinginan istri untuk berpisah dapat terwujud. Biasanya istri lari ke rumah orangtuanya. Dengan begitu, keluarga pihak suami akan mendatangi keluarga pihak istri. Maka, digelarlah mufakat, mengalirlah nasihat-nasihat agar suami istri yang bertikai kembali seangguk sepakat. Tapi jika istri menolak, terpaksa pihak suami menyodorkan talak.

Namun, Tiurmaida kukuh pada pendiriannya, tidak untuk mangidolong! Sebab itu hanya memuluskan perjodohannya dengan anak namboru, anak dari saudara perempuan Baginda Paruhuman। Tiurmaida menolak rencana itu bukan karena lelaki bernama Ali Tukma itu duda beranak tiga, tapi karena ia masih tulus mencintai Marsius. Lagi pula, ia tidak sedang bertengkar dengan Marsius. Iya, terus terang keinginan untuk menikah lagi sering memercik di keruh pikirannya. Ia masih muda! Usianya tiga puluh dua. Tapi setiap mengenang segala pahit-manis kebersamaannya dengan Marsius, keinginan yang hinggap itu seketika lenyap.
Tentu Tiurmaida tahu segala risikonya dan ia siap menanggung itu। Ia sudah terbiasa menahankan beling perih sebuah risiko. Bukankah risiko yang mengintai ketika ia memutuskan menikah dengan Marsius. Ah, berkait kepedihan masa lalu masih menancap di sembab ingatannya. Orangtuanya terang-terangan menentang Marsius sebagai calon menantu. Ketika itu, serapah apa lagi yang belum limpah? Padahal, menurut Tiurmaida, alasan penolakan keluarganya terlampau mengada-ada. Ya, hanya bersebab dendam lampau ketika lamaran ayahnya pernah ditolak mendiang ibu Marsius.

Namun, meski kelak tercampak dari keluarga, Tiurmaida tetap berkeras memilih Marsius। Tekad sudah demikian padat. Marsius dan Tiurmaida nekat marlojong, kawin lari! Dan keluarga Baginda Paruhuman murka ketika mengetahui anak gadisnya raib. Apalagi ketika mereka menemukan abit partading di bawah bantal Tiurmaida. Itulah seperangkat bakal baju, sepucuk surat, dan sejumlah uang sebagai pemberitahuan bahwa seorang gadis telah berketetapan hati menikah dengan pilihannya. Lazimnya, selang beberapa hari, utusan keluarga laki-laki akan mendatangi keluarga perempuan. Mereka bertamu untuk memberi tahu ulang peristiwa marlojong, selanjutnya merembukkan rencana pernikahan secara adat dan agama.

Tapi Baginda Paruhuman tak memberi kesempatan kepada utusan keluarga Marsius untuk duduk bersila di dalam rumahnya। Berarti ia tetap tak merestui Tiurmaida. Namun, apa boleh buat, pernikahan harus dilaksanakan meski tanpa kehadiran ayah dan ibu Tiurmaida. Soal izin dan wali nikah, peraturan adat melimpahkannya kepada uda Tiurmaida?adik laki-laki ayahnya. Marsius dan Tiurmaida pun sah menjadi suami istri. Mereka menyusun cita-cita dan mimpi, pengin punya anak sebagai pelipur hati. Penuh harap pula mereka, kelak kehadiran anak akan melunakkan hati ayah dan ibunya.

Tapi keinginan itu layaknya selengkuk busur yang memuntahkan ribuan panah ke tengkuk Tiurmaida। Bayangkan, sembilan tahun berumah tangga, mereka tak juga dikaruniai anak. Maka, harapan untuk mengait simpati keluarga adalah mimpi yang terbengkalai. Malah orangtua dan sanak famili terus menghunus cibiran: "Lihatlah, kutukan telah berlaku bagi Tiurmaida anak durhaka. Ia tak melahirkan anak meski seorang saja!"

Ois, dengan susah payah Tiurmaida dan suaminya mengasah kesabaran. Tak patah arang mereka pergi kian kemari. Harta warisan milik Marsius: sawah dan ternak, habis digadai demi keinginan memangku anak. Berobat kampung sudah dijalani, tak terbilang bidan yang mereka datangi. Mereka berulangkali pulang pergi ke rumah sakit di Sidimpuan?dari kampung sekitar satu setengah jam naik mobil sewa. Tapi hasilnya berbuah hampa, bahkan belakangan dokter menyatakan rahim Tiurmaida bermasalah!Itulah vonis yang mengiris। Namun, Tiurmaida harus tahu diri. Ia menyilakan Marsius memberi talak demi menikahi perempuan lain dan punya anak. Namun, mentah-mentah suaminya menolak sembari bersumpah tidak akan meninggalkannya. Tiurmaida terharu, tapi juga resah. Ia pasrah, hampir menyerah. Tapi ketika hasrat mulai terkulai, saat gontai kaki hendak menjejak nganga ngarai, bertiuplah sebuah anugerah ke perut Tiurmaida. Tuhan Maha Besar, ia hamil! Betapa luar biasa kegembiraan Tiurmaida dan Marsius menyambut hadiah Tuhan itu. Apalagi setelah anak tersebut lahir dengan sehat. Anak laki-laki, namanya Maramuda.

Memang, pancaran kebahagiaan tetap mengguratkan keperihan। Mengapa? Karena keluarga besar Baginda Paruhuman tak ambil bagian dalam bingar kegembiraan itu. Malah, bukan ucapan sukacita yang mengalir ke telinga Tiurmaida, melainkan gumpal kalimat berbalut pecahan kaca. Begitu legam kiranya dendam ayah dan ibunya. O, semudah itukah memutuskan tali darah antara orangtua dan anak? Berpekik-pekik ia dalam hati.

Tapi ampun, hantaman yang lain kembali meremukkan dada Tiurmaida। Maramuda meninggal ketika usianya baru dua tahun tiga bulan! Pusaran air yang menyintak Maramuda dari lengan Marsius saat mereka mandi ke sungai. Oihda, mengapa selekas itu Maramuda pergi? Tiurmaida pun lelap dalam ratap. Pedih! Tapi inilah alur takdir yang musti diarungi Tiurmaida. Ia berupaya percaya, bahwa segala peristiwa senantiasa merindangkan pohon hikmah. Meski ia tak tahu kelezatan apa yang kelak dicecapnya.
Ia hanya tahu, kalau kematian Maramuda membikin Marsius terpukul। Itukah yang menyebabkan suaminya sering menangis sendiri, bicara sendiri, dan tertawa sendiri? Marsius pun mulai lupa dengan dirinya sendiri, lupa istri sendiri, lupa pula bahwa ia sudah tak punya anak lagi. Rasa cemas selalu mendebarkan Tiurmaida. Mengapa tidak? Tabiat Marsius makin tak terkendali. Ia sering merampas anak-anak kecil?seumur Maramuda?dari gendongan para ibu di kampung itu. Karena ulahnya, tak jarang Marsius harus terperosok ke dalam kekalapan warga kampung. Marsius dilempar, dihajar, dan terkapar. Ia direndam ke lumpur sawah, lalu dipulangkan sambil memanggul luka yang parah.

Peristiwa itu tidak sekali dua kali terjadi, dan akhirnya menuntun Marsius menikung ke sebalik pasung। Tapi Tiurmaida harus tabah, apalagi ketika seketip harapan datang menyelip. Iya, belakangan ini keluarganya?terkhusus ibunya?sering berbelok ke rumahnya. Meski baginya itu terlambat, ia tetap bersyukur. Ia sedikit lega dan berusaha untuk tidak tersungkur ke kolong kesumat. Apalagi ketika ibunya tak pernah penat bernasihat, juga tak henti meniupkan bergumpal semangat ke rompal hidupnya. Namun, seiring itu, kekecewaan berjuntai pula di ranggas pikirannya. Rupanya, kebaikan keluarga Baginda Paruhuman berhilir kepada perjodohannya dengan Ali Tukma.
Kini karung keenam। Paling tidak ia bisa menuntaskan satu dua karung lagi, sebelum hari benar-benar terjerembap ke kubang gelap. Di sekitarnya, batu-batu?sepangkal paha?hasil longsoran terbaru masih tersisa beberapa onggok lagi. Berarti sepekan ke depan, ia masih mempunyai kesempatan menukarkan tenaganya dengan uang. Tiurmaida tersenyum, lalu menatap cahaya buram yang menyala di rumah Marolop. Itulah satu-satunya rumah di kawasan pinggang bukit itu. Marolop mandor para pemecah batu. Ia yang menampung serpihan batu-batu, sebelum mengirimnya dengan truk kepada para pemesan di Sipirok atau di Sidimpuan. Lelaki itu pulalah yang membayarkan upah sesuai jumlah karung yang diselesaikan.

Seusai magrib, biasanya Marolop turun ke kampung, menghabiskan dua pertiga malam di kedai kopi sambil berjudi. Maka, Tiurmaida harus lekas menyelesaikan pekerjaannya, lalu menyeret karung-karung itu ke hadapan Marolop. Kalau tidak, ia akan kehilangan Marolop. Dan Tiurmaida mesti menunggu besok untuk memperoleh upah hari ini. Padahal, upahnya bakal lebih sedikit dari hari sebelumnya. Biasanya Tiurmaida sanggup mengerjakan dua belas karung batu dalam sehari. Sekarung batu imbalannya sembilan ratus rupiah, berarti ia akan mengantongi upah hampir sebelas ribu per hari. Namun tidak untuk kali ini. Sebab, sepetang ini baru lima karung yang berisi. Itu pun dikerjakan sambil menahankan sayatan-sayatan kecil di induk jarinya yang anyir.Teman-teman Tiurmaida, satu-satu berangsur pulang ketika mendung mengapung dari celah bukit। Beberapa malam terakhir, lebat hujan dan kesiur angin berjam-jam mengepung kawasan bukit dan kampung. Tapi malam ini Tiurmaida sepertinya akan terus mengayunkan martil, terus memecah batu-batu dengan sisa kekuatan. Sesekali ia betulkan letak tudung kain di kepalanya. Angin yang meluncur deras dari pundak bukit yang koyak kadang menggigilkan tulangnya. Tapi wajah Marsius yang memintas-mintas di serambi kenangan, mengembuskan kehangatan baru ke tubuhnya.

Sesekali Tiurmaida menghela napas, meluruskan lengkung punggung sambil mendongak ke atas. Perlahan ia perhatikan langit membentuk payung raksasa berwarna pekat. Petir menggelegar, kilat membelah udara. Segeliat lagi terompah waktu akan menginjak pangkal malam. Ia menoleh ke belakang, menyaksikan barisan bukit tandus seperti berpenggal kepala yang berantakan. Sorot mata Tiurmaida berpindah ke arah depan, ia pandangi sembul cahaya dari rumah- rumah penduduk di kaki bukit. Ah, indah! Dari jauh semacam kilau danau. Apalagi ketika hujan terburai dari perut langit, bilah-bilah air yang dipantuli cahaya seperti percik kembang api.Entah karena keindahan itu, hujan yang berkelebat dalam gelap tak menciutkan nyali Tiurmaida. Padahal, tubuhnya berkelambu hujan. Tangannya menebal, tapi ou, mengapa tak mampu memental kengiluan yang menerobos luka induk jarinya. Tiurmaida menggeletar, tapi kian erat genggamannya pada martil. Rahangnya berdetap, tapi ayun tangannya tetap menetak batu. Deru hujan, desir angin, sentak petir, juga denting batu-batu ibarat lagu-lagu yang meneguhkan semangatnya. Tapi dari arah bukit, samar-samar terdengar lagu aneh yang menyusup ke telinga Tiurmaida. Ia tidak paham kalau lagu itu bernada gemuruh.Aduh!


***Medan, 2005-2006
Selengkapnya...

SIPIROK KOTA TUA, DAN JANJI YANG DIABAIKAN



Ongku P Hasibuan dan Aldinz Rapolo Siregar naik menjadi bupati dan wakil bupati Tap-Sel pada tahun 2005 diawali dengan restu dukungan penuh masyarakat Angkola Sipirok didaerah sekitar, Sumut/Medan bahkan Pusat/Jakarta merekomendasikan dan mendukung pencalonannya, karena mereka berjanji akan mengabulkan keinginan masyarakat Angkola Sipirok sebagai daerah otonomi baru Angkola Sipirok. ( Drs. H Syamsul Bahri Ritonga MSi - Global News.com).Ada rasa kekecewaan yang sangat dalam disitu juga kekecewaan seluruh masyarakat Angkola Sipirok, tentu akan lebih kecewa lagi kalau kenyataan sekarang Sipirok pun tidak menjadi ibukota Tap-Sel, Bupati Ongku telah menyiapkan 275 Ha Tanah untuk menjadi Ibu Kota Tapsel yang baru di Maragordong jaraknya 30 Km dari Sipirok mengarah dan persis diperbatasan dengan P Sidempuan Barat.

Kharakteristik Masyarakat Angkola Sipirok.
Masyarakat Sipirok mempunyai kharasteristik yang sangat toleran, friendly, gotongroyang, menghormanti sesama, suku ras maupun kepercayaan dan memegang teguh prinsip Nalihan Na Tolu yang telah menjadi nilai-nilai luhur yang menjadi pegangan masyarakat Angkola Sipirok dalam melaksanakan kehidupan aktipitas sehari-hari.
Sistem kekerabatan dan kehorminasan umat beragama di Daerah Angkola Sipirok mungkin dapat dijadikan contoh daerah-daerah lain di Indonesia, hampir tidak pernah kedengaran kasus-kasus criminal yang menonjol, konflik agama, tawuran antar kampung yang merupakan kasus-kasus klasik akar rumput (grass root) khususnya di tatanan masayarakat pulau Jawa dan daerah-daerah lain. Sehingga daerah Angkola Sipirok boleh dikatakan tidak dapat dijadikan menjadi batuloncatan para penegak hukum, untuk memcapai jenjang yang lebih tinggi karena berprestasi menyelesaikan konflik dan kasus-kasus hukum dimasyarakat.

Sikap toleran dan mau menerima (bukan mengalah) masyarakat Angkola Sipirok dapat dilihat dari dapat dilihat ketika Pemda Tap-Sel mengingkari janji pembentukan Angkola Siprok dengan suatu prinsip “Tidak Apa (Pokat Na Do) asal Sipirok menjadi Ibokota Tap-Sel.
Sejarah Dan Peradaban Kota SipirokTak banyak Buku Sejarah yang mengulas tentang Asal Usul Sipirok, tetapi kalau kita melakuan melakukan browsing kedunia maya melalui raksasa pencari (search engine) “Google” SIPIROK, dalam hitungan 0,15 detik akan mencul 116.000 kata yang mengulas sipirok. Merupakan suatu pengakuan dunia international terhadap Sipirok.

Salah satu rujukan untuk mengetahui keberadaan dan peradaban masyarakat Angkola Sipirok adalah Tuanku RAO (Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak) 1816 - 1833 MOP dijelaskan Sipirok merupakan kota penting dalam dalam penyusunan strategi, pelatihan dan kota yang harus diperebutkan untuk penyiaran agama Islam di tanah batak selama perang Padri beberapa keajadian penting yang berhubungan dengan Sipirok dalam buku tersebut antara lain:

Pada tahun 1720 - 1745 Kantor pusat pemerintahan “PADRI” Tuanku Imam Bonjol Hutasinatar/Mandailing menempatkan Bondanalolot Nasution di Parausorat Sipirok, dengan sukses besar mengexport kuda beban ex-toba dan humbang serta diexport sampai ke Minangkabau dan Jambi.Tahun 1816 Blitzrieng dari Banteng Rao Ke SipirokArmy Group Tuanku Rao diperintahkan Padri merebut Mandailing, Angkola dan Sipirok, untuk kemungkinan intervention Inggris dari Tapian Na Uli di Teluk Sibolga.

Pada tahun 1816-1818 Tuanku Rauo berkuasa di Sipirok, Tuanku Rao kembali Ke Sipirok pada tanggal 4 Syawal 1231/H selama 2 tahun untuk menjabat sebagai Gubernur Militer Pardi, headquartering in Sipirok. Setelah kembali dari benteng Bonjol pada thn 1818 Taunku Rao mengadakan rapat di Panglima di Sipirok, diatas Dolok Pemelaan /HGO Army Group Tuanku Rao, untuk melakukan penyerangan ke Tanah Batak sesuai dengan misi penyiaran agama Islam.Pada tahun 1821, Tuanku Lelo Al Qahhar mendirikan benteng Padang Sidempuan, langsung dari pertempuran Air Bangistuanku Lelo The Deserter dengan 3.000 units Cavelry datang dan menetap di Angkola.

Dari data fakta sejarah tersebut, dapat dikatakan Sipirok dengan sejarah dan segala kekayaan dan paradapannya adalah kota tua yang harus dilestarikan, bahkan lebih tua dari maupun Kota Padang Sidempuan.

Ide Membangun Kota Baru
Kab Tapsel telah menyiapkan dan merencanakan tanah sebagai pusat perkantoran seluas 275 Ha di Maragordong, saya sangat mencintai masyarakat sipirok demikian ujar Bupati Ongku Hasibuan. (situs tapselkab).
Menurut hemat kami adalah suatu tindakan yang gegabah dan pengingkaran terhadap UU N0 37 Tahun 2007 dengan alasa apapun, pelanggran Undang-uang akan mengakibatkan konflik dan pembangkangan, contoh kasus pemindahan ibu kota Banggai Kepulauan Prov. Sul-Teng ke Salakan yang dilakukan untuk alasan pribadi Bupati, harga yang sangat masah harus dibayar rakyat.

Sangat kita sayangkan kalau kasus yang sama terjadi di Bumi Dalihan Natolu (Tap-Sel), sepengetahuan kami tidak ada daerah kecamatan lain yang keberatan dengan Sipirok ibu Kota Tapsel, lain kalau masalahnya kalau berkeinginan coba-coba, ambisi pribadi dengan mengabaikan UU Pemekaran lain masalahnya.

Secara ekenomi pembangunan kota baru (Maragordong) sangat tidak efisien dan tidak layak untuk pusat pemerintahan Tapsel, orientasi pemerintahan yang efisien adalah melakukan pelayanan yang murah dan efisien dan hadir ditengah komunitas masyarakat, bukan membangun kontor pelayanan di yang menjauhi Cactmant Area Service Public.
Orientasi pelayanan yang baik menurut kami dapat dilakukan dengan mengembangkan dan penataan kota yang sudah ada, bahkan untuk mengembangkan kota Jakarta saat ini dilakukan secara merger dengan Depok, Tangerang maupun Bekasi hal ini dilakukan untuk efisiensi public service, contoh kasus rencana ibu kota Jakarta yang akan dipindahkan ke Jonggol pada masa pemerintahan Ordebaru yang dilakukan atas ambisi peribadi, pemindahan ibukota Tangerang ke Tigaraksa, boleh bilang gagal total karena manfaatnya tidak maksimal dan bayak contoh kasus lainnya.

Membangun kota baru perlu biaya yang super besar, biaya membenahi dan mengembangkan Sipirok lebih sedikit dari pada membangun Maragordong disamping membangun perkantoran sarana-sarana pendukung lain yang perlu dibangun antara lain, sarana kesehatan, rumah sakit, transportasi, perkotaan, hiburan, entertainmen, stadion olah raga dll.

Kalau Sipirok sudah ada 288 tahun yang lalu (sejak tahun 1720), dengan eskalasi pertumbuhan kali lebih cepat dari kota normal perlu waktu 120 tahun lagi, agar Maragordong Ibu Tapsel sama dengan Sipirok saat ini, untuk itu butuh biaya yang luar biasa banyak. Untuk memenuhi ambisi apa boleh buat Anggaran harus dikorbankan untuk itu dengan mengabaikan hak-hak masyarakat Tapsel seperti kesehatan, irigasi, jalan, sekolah dll, perlu pengorbanan yang luar biasa besar dari masyarakat Tapsel.

Saya tidak dapat membayangkan kota baru seperti apa yang akan dibangun di Maragordong. Tapi sepengetahuan saya kalaupun terelaisasi akan terjadi High Cost Economic Public Service, karena jarak dari masyarakat yang akan dilayani sangat jauh, Sigalangan 50 Km, Batang Toru, 45 Km Sipirok 30 Km, Sipagimbar 80 Km yang paling dekat hanya untuk pelayanan ke masyarakat kota Padangsidempuan 8 Km, atau mungkin pemerintah tak mau pusing dengan urusan masyarakat dengan menghindari demo.

Potensi pertumbuhan kota Maragordong kedepan juga tidak bisa diharap, karena diluar lahan 275 Ha yang dibebaskan Pemkab, masyarakat tak akan bisa membangun hunian, pertokoan atau bangunan lain yang bersifat bangunan privat, karena tanah tersebut milik pemerintah dan tidak di jual, pembebasanya hanya dapat dilakukan melalui DPR, banyangkan untuk bangun hunian pribadi dan warung rokok milik pribadi harus ijin ke DPR.

PenutupTeori Maslow, hampir sama dengan tujuan dan hakekat hidup masyarakat Angkola Sipirok, kalau semua keinginan sudah terpenuhi, yang terakhir adalah kekuasaan (Hamoraon , Hagabeon, Hasangapon). Ongku Hasibuan (decision maker) pemkab Tapsel telah mendapatkan itu semua, waluapun janji yang pernah terucap dengan mengesampingkan keinginan masyarakat Angkola Sipirok dengan keberhasilan memekarkan Palatu, Palas menjadi otonom baru yang merupakan kota asal dan kelahirannya dan sekarang akan memindahkan Sipirok sebagai ibu kota Tapsel.

Makna terdalam dalam hagabeon, hamoran dan hasangapon seseorang akan tercapai kalau asal-usul tempat memulai pengembaraan dalam hidupnya, bisa terjaga sampai akhir dunia. Akan hal dengan masyarakat Angkola Sipirok yang sangat bangga dengan tanah kelahiran, tanah asal ”SIPIROK NAULI BANUA NASONANG”, “ASAL NI BORU NIRAJAI SIBORU ENGGAN NAJOGI. Berilah masyarakat Angkola Sipirok sedikat kebanggaan, dengan menjadikan Sipirok sebagai ibu kota Kabupaten.

Pengembangan Sipirok dapat dilakukan denga beberapa alternatip kepinggiran Kota Sipirok antara lain, Padang Bujur, Pasar Malam, Silangge Atau Sappean. Untuk mendapatkan tanah pertapakan untuk kantor Bupati, saya percaya orang Sipirok sangat menginginkan dan mendukung itu. Maka untuk itu perlu mempelajari kharakter orang Sipirok datangi namora orong-orong Sipirok, harajaon dan panguasa luat, dengan manukkus dan membawa paroppa sadun dan burangir yang penting maksud dan tujuan tercapai sehingga Bupati Tapsel mendapatkan Hamoraon, Hagaben, Hasangapon yang hakiki dimata Masyarakat Sipirok.

Pardomuan Pane, SE, MM Anak Sipirok tinggal di Jakarta
Filed under: Ekonomi Bisnis, Hukum, Sejarah
Selengkapnya...

Benarkah Orang Batak Keturunan Israel Yang Hilang

Benarkah Orang Batak Suku Israel Yang Hilang?


Batak - Israeli)
Bangsa Israel kuno terdiri dari 12 suku. Setelah raja Salomo wafat, negara Israel pecah menjadi dua bagian. Bagian Selatan terdiri dari dua suku yaitu Yehuda dan Benjamin yang kemudian dikenal dengan nama Yehuda, atau dikenal dengan nama Yahudi. Kerajaan Selatan ini disebut Yehudah, ibukotanya Yerusalem, dan daerahnya dinamai Yudea.

Bagian utara terdiri dari 10 suku, disebut sebagai Kerajaan Israel. Dalam perjalanan sejarah, 10 suku tersebut kehilangan identitas kesukuan mereka. Kerajaan utara Israel tidak lama bertahan sebagaisebuah negara dan hilang dari sejarah. Konon ketika penaklukanbangsa Assyria, banyak orang Kerajaan Utara Israel yang ditawan dandibawa ke sebelah selatan laut Hitam sebagai budak. Sebagian lagi lari meninggalkan asalnya untuk menghindari perbudakan.


Sementara itu Kerajaan Yehudah tetap exist hingga kedatangan bangsaRomawi. Setelah pemusnahan Yerusalem pada tahun 70 oleh bala tentara Romawi yang dipimpin oleh jenderal Titus, orang-orang Yehudah pun banyak yang meninggalkan negerinya dan menetap di negara lain, terserak diseluruh dunia.


Jauh sebelum itu, ketika masa pembuangan ke Babilon berakhir dan orang-orang Yehudah atau disebut Yahudi diijinkan kembali ke negerinya, dan sepuluh suku Israel dari Kerajaan utara memilih tidak pulang tetapi meneruskan petualangan kearah Timur. Demikian jugadengan mereka yang diperbudak di selatan laut Hitam, setelah masa perbudakan selesai, tidak diketahui kemana mereka pergi melanjutkanhidup.

Dengan demikian banyak diantara bangsa Israel kuno kemudian kehilangan identitas mereka sebagai orang Israel. Ada sekelompok penduduk di daerah Tiongkok barat, diterima sebagai puak Cina, tetapi secara umum profil wajah mereka agak berbeda dengan penduduk Cina pada umumnya. Perawakan mereka lebih besar, hidung agak mancung, namun berkulit kuning dan bermata sipit. Mereka menyembah Allah yang bernama Yahwe. Sangat mungkin mereka adalah keturunan sepuluh suku Israel yang hilang yang telah kawin campur dengan penduduk lokal sehingga kulit dan mata menjadi seperti penduduk asli.


Saya percaya banyak diantara para pembaca yang mengetahui bahwa di negeri Israel ada sekelompok kecil orang Israel yang berkulit hitam. Mereka adalah suku Falasha, yang sebelum berimigrasi ke Israel hidup di Etiopia selama ratusan generasi. Fisik mereka persis seperti Negro dengan segala spesifikasinya yaitu kulit hitam legam, bibir tebal, rambut keriting, dll.
Mereka mengklaim diri mereka sebagai keturunan Israel atau disebut Beta Israel, dan dengan bukti-bukti yang dimiliki, mereka mampu memenuhi seluruh kriteria yang dituntut oleh Pemerintah Israel yang merupakan syarat mutlak supaya diakui sebagai Israel perantauan. Setelah memperoleh pengakuan sebagai keturunan Israel, sebagian dari mereka kembali ke Tanah Perjanjian sekitar 15 tahun lalu dengan transportasi yang disediakan oleh Pemerintah Israel. Itulah sebabnya mengapa ada Israel hitam.


Mereka seperti orang Negro karena intermarriage dengan perempuan- perempuan lokal sejak kakek moyang mereka pergi ke Ethiopia. Kita tahu bahwa bahwa Ethiopia adalah salah satu negara yang penduduknya mayoritas Kristen yang paling tua didunia. Ingat sida-sida yang dibaptis oleh Filipus dalam Kisah 8:26-40. Bahkan sebelum era Kekristenan pun sudah ada penganut Yudaisme disana.Walaupun banyak yang kembali, sebahagian lagi tetap memilih menetap di negeri itu, dan merekalah yang menjaga dan memelihara Tabut Perjanjian yangkonon ada disana.


Apakah ada diantara para pembaca yang pernah mendengar selentingan bahwa etnik Bangso Batak Toba, adalah juga keturunan bangsa Israel kuno yang hilang? Mungkin saja tidak, karena orang-orang Batak Toba sendiri banyak yang tidak mengetahuinya, kecuali segelintir yangmemberikan perhatian terhadap hal ini.


Menurut kamus umum bahasa Indonesia Batak mempunyai arti (sastra), adalah petualang, pengembara, sedang membatak berarti berpetualang, pergi mengembara. Walaupun demikian orang Batak dikenali dengan sikap dan tindakannya yang khas, yaitu terbuka, keras dan apa-adanya.


Hosea 19:17: Allahku akan membuang mereka (ISRAEL YANG MURTAD), sebab mereka tidak mendengar Dia, maka mereka akan MENGEMBARA diantara bangsa-bangsa.
Mengapa di Sumatera, karena Sumatera adalah salah satu pulau di Hindia yang berdekatan dengan India. Sumatera juga merupakan salah satu pulau di Lautan Samudera Hindia.
Bandingkan Yesaya 11:11: Pada waktu Tuhan akan mengangkut pula tangaNya untuk menebus sisa-sisa umatNya (Bangsa ISRAEL YANG MURTAD) yang tertinggal di Asyur, dan di Mesir, di Patros, di Ethiopia, dan di Elam, di Sinear, di Hamat dan di Pulau-pulau di Laut.
Seperti yang diungkapkan oleh seorang anthropolog dan juga pendeta dari Belanda, profesor Van Berben, dan diperkuat oleh prof Ihromi, guru besar di UI (Universitas In 782 donesia), bahwa tradisi etnik Tapanuli (Batak Toba) sangat mirip dengan tradisi bangsa Israel kuno.
Pendapat itu didasarkan atas alasan yang kuat setelah membandingkan tradisi orang Tapanuli dengan catatan-catatan tradisi Israel dalam Alkitab yang terdapat pada sebahagian besar kitab Perjanjian Lama, dan juga dengan catatan-catatan sejarah budaya lainnya diluar Alkitab.
Beberapa peneliti dari etnis Tapanuli juga yakin bahwa Batak adalah keturunan Israel yang sudah lama terpisah dari induk bangsanya, tapi karena intermarriage dengan penduduk lokal ditempat mana mereka bermukim membuat orang Batak secara fisik menjadi seperti orang Melayu.

Seorang Batak Toba, yang sudah lebih dari 20 tahun tinggal di Israel dan menjadi warga negara, berusaha mengumpulkan data-data untuk pembuktian. Setelah merasa sudah cukup, dia mengajukannya ke pemerintah Israel yang waktu itu masih dipimpin oleh PM Yitzak Rabin.
Tetapi tenyata data tersebut belum bisa memenuhi seluruh kriteria. Pemerintah Israel kemudian meminta agar kekurangannya dicari hingga dapat mencapai 100 persen supaya pengakuan atas etnis Batak sebagai orang Israel diperantauan dapat diberi. Konon kekurangan itu terutama terletak pada silsilah yang banyak missing links-nya, dan menelusuri silsilah itu agar sempurna sama sulitnya dengan menyelam ke perut bumi.
Peneliti berharap suatu waktu pada masa depan, Pemerintah Israel bisa saja mengubah kriterianya dengan menjadi lebih lunak dan etnik Batak diterima sebagai bahagian yang terpisah dari mereka.

Setelah mendengar selentingan itu, saya benar-benar menaruh minat untuk menyelidiki sejauh mana budaya Bangso Batak Toba dapat memberi bukti similaritasnya dengan tradisi Israel kuno. Alkitab adalah buku yang prominent dan sangat layak serta absah sebagai kitab pedomanuntuk mencari data budaya Israel kuno yang menyatu dengan unsur sejarah dan spiritual.
Beberapa diantara kesamaan tradisi Batak Toba dengan tradisi Israel kuno adalah sebagai berikut:

1). Pemeliharaan silsilah (Tarombo dan Marga)
Semua orang Tapanuli, terutama laki-laki, dituntut harus mengetahui garis silsilahnya. Demikian pentingnya silsilah, sehingga siapa yang tidak mengetahui garis keturunan kakek moyangnya hingga pada dirinya dianggap na lilu - tidak tahu asal-usul - yang merupakan cacat kepribadian yang besar.
Bangsa Israel kuno juga memandang silsilah sebagai sesuatu yang sangat penting. Alkitab, sejak Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru sangat banyak memuat silsilah, terutama silsilah dari mereka yang menjadi figur penting, termasuk silsilah Yesus Kristus yang ditelusuri dari pihak bapak(angkat) Nya Yusuf, yang keturunan Daud dan pihak ibuNya (Maria).
Catatan:
MARGA adalah kelompok kekerabatan menurut garis keturunan ayah (patrilineal) .Sistem kekerabatan patrilineal menentukan garis keturunan selalu dihubungkan dengan anak laki laki. Seorang ayah merasa hidupnya lengkap jika ia telah memiliki anak laki-laki yang meneruskan marganya. Sesama satu marga dilarang saling mengawini, dan sesama marga disebut dalam Dalihan Na Tolu disebut Dongan Tubu. Menurut buku “Leluhur Marga Marga Batak”, jumlah seluruh Marga Batak sebanyak 416, termasuk marga suku Nias.
Catatan:
Marga dalam kamus Inggris Hassan Shadily dan John Echols adalah CLAN, yakni Suku, Marga, dan KAUM. Dalam arti yang lain, Marga bias berarti Warga, dari bahasa India (Sansekerta, kemungkinannya) . Jadi, kalau ada orang Batak bermarga Tampubolon, berarti dia berasal dari KAUM TAMPUBOLON. Bandingkan dengan KAUM LEWI, KAUM YEHUDAH, KAUM SIMEON dan lain-lain.

TAROMBO adalah silsilah, asal-usul menurut garis keturunan ayah. Dengan tarombo seorang Batak mengetahui posisinya dalam marga. Bila orang Batak berkenalan pertama kali, biasanya mereka saling tanya Marga dan Tarombo. Hal tersebut dilakukan untuk saling mengetahui apakah mereka saling “mardongan sabutuha” (semarga) dengan panggilan “ampara” atau “marhula-hula” dengan panggilan “lae/tulang” . Dengan tarombo, seseorang mengetahui apakahia harus memanggil “Namboru” (adik perempuan ayah/bibi), “Amangboru/Makela” ,(suami dari adik ayah/Om), “Bapatua/ Amanganggi/ Amanguda” (abang/adik ayah), “Ito/boto” (kakak/adik) , PARIBAN atau BORU TULANG (putri dari saudara laki laki ibu) yangdapat kita jadikan istri, dst.


2). Perkawinan yang ber-pariban
Ada perkawinan antar sepupu yang diijinkan oleh masyarakat Batak, tapi tidak sembarang hubungan sepupu. Hubungan sepupu yang diijinkan untuk suami-istri hanya satu bentuk, disebut marpariban. Cukup report menerangkan hal ini dalam bahasa Indonesia karena bahasa ini tidak cukup kaya mengakomodasi sebutan hubungan perkerabatan dalam bahasa Batak. Yang menjadi pariban bagi laki-laki ialah boru ni tulang atau anak perempuan dari saudara laki-laki ibu. Sedangkan yang menjadi pariban bagi seorang gadis ialah anak ni namboru atau anak laki-laki dari saudara perempuan bapa.

Hanya hubungan sepupu yang seperti itu yang boleh menjadi suami- isteri. Karena suku Batak penganut patriarch yang murni, ini adalah perkawinan ulang dari kedua belah pihak yang sebelumnya sudah terjalin dengan perkawinan.


Mari kita bandingkan dengan Alkitab. Pada kitab Kejadian, Yakub menikah dengan paribannya, anak perempuan Laban yaitu Lea dan Rahel. Laban adalah tulang dari Yakub. (Saudara laki-laki dari Ribka, ibu dari Yakub). Didunia ini sepanjang yang diketahui hanya orang Israel kuno dan orang Batak yang sekarang memegang tradisi hubungan perkawinan seperti itu.


3). Pola alam semesta
Orang Batak membagi tiga besar pola alam semesta, yaitu banua ginjang (alam sorgawi), banua tonga (alam dimensi kita), dan banua toru (alam maut). Bangsa Israel kuno juga membagi alam dengan pola yang sama.

4). Kredibilitas
Sebelum terkontaminasi dengan racun-racun pikiran jaman modern, setiap orang Batak, terutama orang tua, cukup menitipkan sebuah tempat sirih (salapa atau gajut), ataupun sehelai ulos, sebatang tongkat, atau apa yang ada pada dirinya sebagai surat jaminan hutang pada pihak yang mempiutangkan, ataupun jaminan janji pada orang yang diberi janji. Walaupun nilai ekonomis barang jaminan bisa saja sangat rendah tetapi barang tsb adalah manifestasi dari martabat penitip, dan harus menebusnya suatu hari dengan merelealisasikan pembayaran hutang ataupun janjinya. Budaya Israel kuno juga demikian. Lihat saja Yehuda yang menitipkan tongkat kepada Tamar sebagai jaminan janji (Kej. 38).


5). Hierarki dalam pertalian semarga
Dalam budaya Batak, jika seorang perempuan menjadi janda, maka laki- laki yang paling pantas untuk menikahinya ialah dari garis keturunan terdekat dari mendiang suaminya. Ini dimaksudkan agar keturunan perempuan tsb dari suami yang pertama tetap linear dengan garisketurunan dari suami yang kedua. Misalnya, seorang janda dari Simanjuntak sepatutnya menikah lagi adik laki -laki mendiang (bandingkan dengan Rut 1:11).


Jika tidak ada adik laki-laki kandung, sebaiknya menikah dengan saudara sepupu pertama dari mendiang yang dalam garis silsilah tergolong adik. Jika tidak ada sepupu pertama, dicari lagi sepupu kedua. Demikian seterusnya urut-urutannya. Hal semacam ini diringkaskan dalam ungkapan orang Batak : “Mardakka do salohot, marnata do na sumolhot. Marbona do sakkalan, marnampuna do ugasan”. Dalam tradisi Israel kuno, kita dapat membaca kisah janda Rut dan Boas. Boas masih satu marga dengan mendiang suami Rut, Kilyon. Boas ingin menikahi Rut, tapi ditinjau dari kedekatannya menurut garis silsilah, Boas bukan pihak yang paling berhak. Oleh sebab itu dia mengumpulkan semua kerabat yang paling dekat dari mendiang suami Rut, dan mengutarakan maksudnya. Dia akan mengurungkan niatnya jika ada salah satu diantara mereka yang mau menggunakan hak adat-nya, mulai dari pihak yang paling dekat hubungan keluarganya hingga yang paling jauh sebelum tiba pada urutan Boas sendiri. Ya, mardakka do salohot, marnata do na sumolhot. (Baca kitab Rut).


6). Vulgarisme
Setiap orang dapat marah. Tetapi caci maki dalam kemarahan berbeda- beda pada tiap-tiap etnik. Orang Amerika terkenal dengan serapah: son of a bitch, bastard, idiot, dll yang tidak patut disebut disini. Suku-suku di Indonesia ini umumnya mengeluarkan makian denganserapah : anjing, babi, sapi, kurang ajar, dll.

Pada suku Batak makian seperti itu juga ada, tetapi ada satu yang spesifik. Dalam sumpah serapahnya seorang Batak tak jarang memungut sehelai daun, atau ranting kecil, atau apa saja yang dapat diremuk dengan mudah. Maka sambil merobek daun atau mematahkan ranting yangdipungut/dicabik dari pohon dia mengeluarka 6ea n sumpah serapahnya:, , Sai diripashon Debata ma au songon on molo so hudege, hubasbas, huripashon ho annon !!!”. Terjemahannya kira-kira begini:,,Beginilah kiranya Tuhan menghukum aku kalau kamu tidak kuinjak, kulibas, kuhabisi !!!”.

Robeknya daun atau patahnya ranting dimaksudkan sebagai simbol kehancuran seterunya. Orang-orang Israel kuno juga sangat terbiasa dengan sumpah serapah yang melibatkan Tuhan didalamnya. Vulgarisme seperti ini terdapat banyak dalam kitab Perjanjian Lama, diantaranyaserapah Daud pada Nabal. (1 Sam. 25, perhatikan ayat 22 yang persis sama dengan sumpah serapah orang Batak).

7). Nuh dan bukit Ararat
Ada beberapa etnik didunia ini yang mempunyai kisah banjir besar yang mirip dengan air bah dijaman Nuh. Tiap etnik berbeda alur ceritanya tetapi polanya serupa. Etnik Tapanuli juga punya kisah tentang air bah, tentu saja formatnya berbeda dengan kisah Alkitab. Apabila orang-orang yang sudah uzur ditanya tentang asal-usul suku Batak, mereka akan menceritakan mitos turun temurun yang mengisahkan kakek moyang orang Batak diyakini mapultak sian bulu di puncak bukit Pusuk Buhit.

Pusuk Buhit adalah sebuah gunung tunggal yang tertinggi di Tapanuli Utara, dipinggiran danau Toba. Pusuk Buhit sendiri artinya adalah puncak gunung. Pusuk Buhit tidak ditumbuhi pohon, jelasnya tidak ada bambu disana. Yang ada hanya tumbuhan perdu, ilalang, dan rumput gunung. Bambu – dari mana kakek moyang keluar – menurut nalar mendarat di puncak gunung itu dan mereka keluar dari dalamnya setelah bambunya meledak hancur. Mengapa ada bambu pada puncak Pusuk Buhit yang tandus dan terjal? Tentu saja karena genangan air yang mengapungkannya, yang tak lain adalah banjir besar.

Dapat dipahami mengapa jalan cerita menjadi seperti itu, karena setelah ribuan tahun terpisah dari induk bangsanya, narasi jadi berbeda. Bahtera Nuh berubah menjadi sebentuk perahu bambu berbentuk pipa yang kedua ujungnya ditutup, dan Bukit Ararat berubah menjadi Pusuk Buhit.

8). Mangokal Holi atau Eksumasi (Pemindahan tulang belulang)
Jika Pemerintah mengubah fungsi lahan pekuburan, wajar jika tulang- belulang para almarhum/ah dipindahkan oleh pihak keluarga yang terkait. Alasan ini sangat praktis. Bagi orang Tapanuli, penggalian tulang belulang (eksumasi) dari kerabat yang masih satu dalam garis silsilah dan dikuburkan didaerah lain adalah praktek yang sangat umum hingga sekarang. Seringalasannya hanya untuk kepuasan batin belaka walaupun biayanya sangat mahal karena termasuk dalam kategori perhelatan besar.

Pada bangsa Israel kuno hal semacam adalah kebiasaan umum. Sejarah sekuler menuturkan bahwa tulang belulang Yusuf dibawa dari Mesir ketika bangsa ini keluar dari sana. Juga dalam kitab lain dalam Perjanjian Lama, sekelompok masyarakat berniat memindahkan tulang belulang dari satu pekuburan (walaupun kemudian dihalangi oleh seorang nabi).

9). Peratap/Ratapan
Adalah wajar bagi jika satu keluarga menangis disekeliling anggota keluarga / kerabat yang meninggal dan terbujur kaku. Mereka menangisi si mati, dan seseorang meratapinya. Meratap berbeda dengan menangis. Meratap dalam bahasa Tapanuli disebut mangandung. Mangandung ialah menangis sambil melantunkan bait-bait syairkematian dan syair kesedihan hati.
Karena sepenuhnya terikat dengan komponen syair-sayir maka mangandung ad 676 alah satu bentuk seni yang menuntut keahlian. Untuk memperoleh kepiawaian harus belajar. Bahasa yang digunakan sangat klasik, bukan bahasa sehari-hari. Setiap orang-tua yang pintar mangandung akan mendapat pujian dan sering diharapkan kehadirannya pada setiap ada kematian.

Di desa-desa, terutama di daerah leluhur - Tapanuli - tidak mengherankan kalau seseorang orang yang tidak ada hubungan keluarga dengan orang yang meninggal, bahkan tidak dikenal oleh masyarakat setempat, namun turut mangandung disisi mayat. Masyarakat mendukung hal seperti itu. Kata-kata yang dilantukan dalam irama tangisan sangat menyentuh kalbu. Tak jarang pihak keluarga dari si mati memberi pasinapuran (ang pao) kalau si peratap tersebut pintar, sekedar menunjukkan rasa terima kasih.

Peratap-peratap dari luar ini sebenarnya tidak menangisi kepergian si mati yang tidak dikenalnya itu. Alasannya untuk turut meratap adalah semata-mata mengeluarkan kesedihan akibat kematian keluarga dekatnya sendiri pada waktu yang lalu, dan juga yang lebih spesifikyaitu mengekspresikan seni mangandung itu.

Ini sangat jelas dari ungkapan pertama sebelum melanjutkan andung-andungnya :,,Da disungguli ho ma sidangolonhi tu sibokka nahinan” Sibokka nahinan adalah anggota keluarga sipangandung yang sudah meninggal sebelumnya. Selanjutnya dia akan lebih banyak berkisah tentang mendiang familinya itu.

Bagaimana dengan bangsa Israel?
Dari sejarah diketahui bahwa ketika Yusuf (perdana menteri Mesir) meninggal, sanak keluarganya membayar para peratap untuk mangandung. Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru berkali-kali mencatat kata -kata ratapan, meratap, peratap. Kitab Ratapan yang ditulis oleh raja Salomo, dalam praktek Israel kuno adalah syair-syair yang dilantunkan sambil mangandung, kendati bukan pada acara kematian.

10). Hierarki pada tubuh
Dalam budaya Batak, kepala adalah anggota tubuh yang paling tinggi martabatnya. Menyentuh kepala seseorang dengan tidak disertai permintaan maaf yang sungguh-sungguh, bisa berakibat parah. Sebaliknya anggota tubuh yang paling rendah derajatnya ialah telapak kaki. Adalah penghinaan besar jika seseorang berkata kepada seseorang lain:,,Ditoru ni palak ni pathon do ho = Kau ada dibawah telapak kakiku ini”, sambil mengangkat kaki memperlihatkan telapak kakinya pada seteru. Penghinaan seperti ini hanya dilontarkan olehseseorang yang amarahnya sudah memuncak dan sudah siap berkelahi.

Pada zaman dulu, dalam setiap pertemuan, telapak kaki selalu diusahakan tidak nampak ketika duduk bersila. Pada bangsa-bangsa Semitik tertentu di Timur Tengah, tradisi semacam ini masih tetap dijaga hingga sekarang karena memperlihatkan telapak kaki pada orang lain adalah pelanggaran etika yang berat, karena telapak kaki tetap dianggap anggota tubuh yang paling hina derajatnya.

11). Tangan kanan dan sisi kanan
Dalam budaya Tapanuli, sisi kanan dan tangan kanan berbeda tingkat kehormatannya dengan sisi kiri dan tangan kiri. Jangan sekali-kali berinteraksi dengan orang lain melalui tangan kiri jika tidak karena terpaksa. Itupun harus disertai ucapan maaf. Dalam Alkitab banyak tercatat aktivitas sisi `kanan’ yang melambangkan penghormatan ataukehormatan.
Yusuf sang perdana menteri Mesir memprotes ayahnya Yakub yang menyilangkan tangannya ketika memberkati Manasye dan Efraim (baca Kejadian 48). Rasul Paulus dalam salah satu suratnya menyiratkan hierarki anggota tubuh ini. Juga baca Pengkhotbah 10:2, Mzm 16:8, Mat 25:33, 26:64 Mrk 14:62, Kis 7:55-56, 1Pet 3:22, dll.

12). Anak sulung
Dalam hierarki keluarga, posisi tertinggi diantara seluruh keturunan bapak/ibu ialah anak sulung. Ia selalu dikedepankan dalam memecahkan berbagai masalah, juga sebagai panutan bagi semua adik-adiknya. Jika ayah (sudah) meninggal, maka anak sulung yang sudah dewasa akanmengganti posisi sang ayah dalam hal tanggung jawab terhadap seluruh anggota keluarga seperti yang diungkapkan dalam umpasa : Pitu batu martindi-tindi, alai sada do sitaon na dokdok. Sitaon na dokdok itu adalah si anak sulung. Tanggung jawab itulah yang membuat dia besar,memberi karisma dan wibawa. Karisma dan wibawa, itulah profil yangmelekat pada anak sulung.

Alkitab ditulis dengan bahasa manusia, bangsa Israel kuno. Deskripsi tentang anak sulung pada bangsa ini sama seperti yang ada pada suku Batak yang sekarang, sehingga the term of the firstborn (istilah anak sulung) banyak terdapat dalam kitab tersebut. (baca Kel 4:22,34:20, 13:12 dan 15, Im 27:26, Bil 3:13, 8:17, Mzm 89:28, Yer 31:9, Hos 9:20, Rom 8:23, Luk 2:27, 11:16, 1Kor 15:20 dan 23, Kol 1:15 dan 18, Ibr 1:6, Yak 1:18, dll)

13). Gender
Hingga sekarang posisi perempuan dalam hubungan dengan pencatatan silsilah selamanya tidak disertakan karena perempuan dianggap milik orang lain, menjadi paniaran ni marga yang berbeda. Hal yang sama terjadi pada bangsa Israel kuno ; bangsa ini tidak memasukkan anak perempuan dalam silsilah keluarga. Ada banyak silsilah dalam Alkitab, tetapi nama perempuan tidak terdapat didalamnya kecuali jika muncul sebagai yang sangat penting seperti Rut dan Maria (ibu Yesus). Kalaupun nama Dina disebut juga dalam Alkitab, itu bukan karena posisinya yang penting tetapi hanya sebagai pelengkap nama- nama keturunan Yakub yang kemudian menurunkan seluruh bangsa Israel. Dalam Tradisi Israel, anak perempuan tidak dihitung sebagai bangsa, tetapi anak laki-laki, red.

13). Kemenyan BATAK TOBA
Ada cerita yang sangat dipercaya oleh masyarakat Tapanuli, Sumatera Utara. Salah satu persembahan yang dibawa tiga majuz atau cendekiawan dari timur untuk bayi Yesus yang baru dilahirkan di Betlehem itu berasal dari Tanah Tapanuli. Persembahan itu berupa kemenyan, mendampingi dua persembahan lainnya, emas dan mur. Lewat cerita turun-temurun, masyarakat Tapanuli percaya kemenyan itu dibawa dari Pelabuhan Barus, yang dulu pernah menjadi pelabuhan besar, menuju Timur Tengah, hingga ke Betlehem. Cerita itu semakin bergulir mengingat sebagian besar penduduk Tapanuli beragama Kristen dan Katolik yang erat dengan cerita kelahiran Yesus Kristus. Kebenarannya memang perlu diteliti, tetapi setidaknya dari cerita itu bisa terlihat bahwa sampai sekarang pun getah harum bernama kemenyan, yang dalam bahasa Batak disebut haminjon, itu begitu erat dengan kehidupan orang Tapanuli.
Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumatera Utara yang juga mantan Bupati Tapanuli Utara RE Nainggolan menjelaskan, kemenyan pernah sangatmenyejahterakan masyarakat Tapanuli. Dan, getah harum itu ikut pula membesarkan namanya. “Nenek saya pedagang kemenyan,” tuturnya. Ia tahu persis, pada tahun 1936neneknya sudah mempunyai mobil untuk mengangkut kemenyan dari Tapanuli ke Pelabuhan Sibolga. Saat itu harga satu kilogram kemenyan sama dengan satu gram emas. Standar itu dipakai terus oleh petanidan pengepul di Tapanuli: Satu kilogram kemenyan sama dengan satu gram emas. Satu kilogram kemenyan juga setara satu kaleng (16 kilogram) beras. Selain cerita tentang persembahan dari timur untuk Nabi Isa itu, tak banyak orang tahu sejarah kemenyan di Tapanuli. Kebanyakan warga menyebutkannya sebagai tanaman ajaib yang sudah ada ratusan tahun dan menghidupi masyarakat Tapanuli.

14). Pemberian Nama Bayi yang Lahir Tujuh Hari
Di dalam tradisi Parmalim - Agama Leluhur Batak Kuno, setiap anakbayi yang lahir selama tujuh hari harus di bawa ke Pancur untuk Permandian dan sekaligus pemberian nama. Permandian bayi yang sudah tujuh hari itu diserahkan ke Imam Parmalim. Setelah itu diberi nama dengan diadakannya Pesta Martutu Aek.

Memang tidak ada sunat, tetapi beberapa suku Israel seperti Bene Menashe di India dan Suku Chiang Min pun melakukan hal yang sama. Karena apa? Karena mereka sudah melalui generasi ke generasi, asimilasi, masuknya unsur-unsur lokal dan sebagainya, seperti nama- nama dewa-dewi sesembahan lokal dimana mereka tinggal. Seperti itulah, tetapi identitas keaslian mereka sebagai keturunan Israel masih kelihatan. Seperti budaya, adat, Agama -Kepercayaan Monotheisme (meskipun masuknya paham lokal setempat), dan beberapa kebiasaan yang berbeda dengan suku - suku yang lainnya.

15). Monoteisme Hamalimon – Parmalim – Ugamo Malim
Hamalimon – Parmalim – Ugamo Malim, Agama Leluhur Bangso Batak Toba
Parmalim, kaum minoritas yang tegar mempertahankan nilai leluhur batak. Kata Malim berasal dari bahasa Arab yang terdapat di kitab- kitab suci; yang berarti suci dan saleh dari asal kata Muallim. Dalam bahasa Arab Muallim merujuk kepada istilah orang suci yang menjadi pembimbing dan sokoguru. Parmalim diistilah Batak berkembang ke dalam pengertian; orang-orang saleh berpakaian sorban putih.
Parmalim merupakan agama monotheis asli Bangso Batak Toba. Parmalim sudah ada sejak 497 Masehi atau 1450 tahun Batak.

TUHAN menurut Hamalimon –Parmalim – Ugamo Malim
Ugamo malim menyebut Tuhan adalah Mulajadi na Bolon (Awal Mula Yang Besar, red). Mulajadi na Bolon adalah Tuhan Yang Maha Esa yang tidak bermula dan tidak berujung. Bahwa Mulajadi na Bolon atau Tuhan itu wujud atau ada. Tetapi tidak dapat dilihat. Dia tidak bermula dan tidak mempunyai ujung. Dia adalah mutlak absolut, Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Agung dan tidak dapat dibandingkan. Dia dekat dan jauh dari alam ciptaannya. Dia adalah kuasa yang menghukum dan kuasa mengampuni. Kuasa kasih dan kuasa murka. Demikianlah sifat-sifatMulajadi Na Bolon, Tuhan yang satu bersadarkan Ugamo Malim.

Dalam Injil Perjanjian Lama, menceritakan Raja Salomo dikenal dengan Nabi Sulaiman, memerintahkan rakyatnya melakukan perdagangan dan membeli rempah-rempah hingga ke Ophir. Ophir patut diduga adalah Barus di Tapanuli. Perkiraan itu punya jejak spiritual berbentuk kepercayaan monotheisme. Misalnya Ugamo Parmalim yang menjadi agama asli etnis Batak, meyakini Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan Ompu Mulajadi Na Bolon (Parmalim atau Ugamo Malim, pen).

Selain itu, sekelompok penyebar ajaran Kristen Nestorian dari Persia yakni Iran, yang menjejakkan kakinya di Barus. Kelompok itu diperkirakan datang sekira tahun 600an Masehi dan mendirikan gereja pertama di Desa Pancuran, Barus.
Tambahan: Dalam kitab umat Yahudi, Melakim (Raja-raja), fasal 9, diterangkan bahwa Nabi Sulaiman a.s. raja Israil menerima 420talenta emas dari Hiram, raja Tirus yang menjadi bawahan beliau. Emas itu didapatkan dari negeri Ophir. Kitab Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya’ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman a.s. berlayar ke “tanah yang Kami berkati atasnya” (al-ardha l-lati barak- Na fiha). Di manakah gerangan letak negeri Ophir yang diberkatiAllah itu? Banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwa negeri Ophir itu terletak di Sumatera! Perlu dicatat, kota Tirus merupakan pusat pemasaran barang-barang dari Timur Jauh. Ptolemaios pun menulis Geographike Hyphegesis berdasarkan informasi dari seorang pedagangTirus yang bernama Marinus. Dan banyak petualang Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 mencari emas ke Sumatera dengan anggapan bahwa disanalah letak negeri Ophir-nya Nabi Sulaiman a.s.

Secara “teologis” bisa dikatakan bahwa ugamo malim juga menganut paham monoteistik, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa karena tujuan akhir semua doa mereka tetap diarahkan kepada debata MulajadiNabolon (Tuhan Pencipta langit dan bumi). Ini hal yang luar biasauniknya. Tidak ada analisis yang dapat menerangkan itu jika tidak menghubungkannya dengan faham monoteisme Yudaisme bangsa Israel kunoyang terbawa melekat hingga sekarang, tidak lekang oleh kikisan kurun waktu ribuan tahun.

Dalam melaksanakan ibadah, Parmalim melaksanakan upacara (ritual) Patik Ni Ugamo Malim untuk mengetahui kesalahan dan dosa, serta memohon ampun dari Tuhan Yang Maha Esa yang diikuti dengan bergiat melaksanakan kebaikan dan penghayatan semua aturan Ugamo Malim.
Sejak lahir hingga ajal tiba, seorang “Parmalim” wajib mengikuti 7 aturan Ugamo Malim dengan melakukan ritual (doa). Ke-7 aturan tersebut adalah :

1. Martutuaek (kelahiran) 2. Pasahat Tondi (kematian) 3. Mararisantu (peribadatan setiap hari sabtu) 4. Mardebata (peribadatan atas niat seseorang) 5. Mangan Mapaet (peribadatan memohon penghapusan dosa) 6. Sipaha Sade (peribadatan hari memperingati kelahiran Tuhan Simarimbulubosi) 7. Sipaha Lima (peribadatan hari persembahan / kurban)

Selain ke-7 aturan wajib di atas, seorang “Parmalim” harus menjunjung tinggi nilai – nilai kemanusiaan seperti menghormati dan mencintai sesama manusia, menyantuni fakir miskin, tidak boleh berbohong, memfitnah, berzinah, mencuri, dan lain sebagainya. Diluar hal tersebut, seorang “Parmalim” juga diharamkan memakan daging babi, daging anjing dan binatang liar lainnya, serta darah.

Manusia yang mematuhi dan mengikuti ajaran Tuhan dan melakukannya dalam kehidupannya, memiliki pengharapan kelak ia akan mendapat kehidupan roh suci nan kekal.-Kata bijak Ugamo Malim.

Secara implisit, inilah yang menjadi ajaran suci keyakinan Ugamo Malim atau lebih dikenal dengan Parmalim di Tanah Batak sejak turun temurun, seperti yang dikatakan Raja Marnakkok Naipospos selaku Ulu Punguan (pemimpin spiritual) Parmalim terbesar di Desa Hutatinggi Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir.

Menurut beberapa pandangan ilmuwan sosial, sebenarnya Ugamo Malim layak menjadi sebuah agama resmi. Alasannya ialah dalam ajaran aliran ini juga terdapat nilai-nilai religius yang bertujuan menata pola kehidupan manusia menuju keharmonisan, baik sesama maupunkepada Pencipta.

Dan secara ilmu sosial tujuan ini mengandung nilai luhur. Bahkan, ajaran Parmalim menuntut manusia agar hidup dalam kesucian,” jelasnya kemudian menerangkan secara detail asal-muasal kata Parmalim yang berasal dari kata “malim”.

Malim berarti suci dan hidup untuk mengayomi sesama dan meluhurkan Oppu Mulajadi Nabolon atau Debata (Tuhan pencipta langit dan bumi). “Maka, Parmalim dengan demikian merupakan orang-orang mengutamakan kesucian dalam hidupnya,” jelas Marnangkok. Yang kami puja tak lain adalah Oppu Mula Jadi Na Bolon bukan”begu” (roh jahat),” katanya.

“Dan inilah yang menjadi bias negatif dari masyarakat terhadapParmalim.” Marnangkok kemudian menjelaskan, Oppu Mula Jadi Nabolon adalah Tuhan pencipta alam semesta yang tak berwujud, sehingga Ia mengutus sewujud manusia sebagai perantaraannya (parhiteon), yakni Raja Sisingamangaraja yang juga dikenal dengan Raja Nasiak Bagi. Raja Nasiak Bagi merupakan julukan terhadap kesucian (hamalimon) serta jasa-jasanya yang hingga akhir hidupnya tetap setia mengayomi Bangsa Batak. Nasiak Bagi sendiri berarti ditakdirkan untuk hidup menderita. Ia bukan raja yang kaya raya tetapi hidup sama miskin seperti rakyatnya.

Dengan demikian, Parmalim meyakini bahwa Raja Sisingamangaraja dan utusan-utusannya mampu mengantarkan mereka (Bangsa Batak) kepada Debata. Ugamo Malim diyakini sebagian orang sudah ada sebelum ajaran Kristen dan Islam masuk ke daerah itu. Hidup dalam kepasrahan. Barangkali itu jugalah intisari dari pernyataan kata bijak Parmalim yang mengatakan: “Baen aha diakkui sude bangso on hita, ia anggo so diakkui Debata pangalahon ta.” (Tidakklah begitu berarti pengakuan semua bangsa terhadap kita, dibandingkan pengakuan Tuhan terhadap perilaku kita).

Catatan: Sisingamangaraja, adalah Singa yang merajai. Para Datu atau Tua-Tua Batak Toba, menjuluki Singa bagi Hukum dan Singa bagi para raja. Padahal Singa tidak ada di Tapanuli, yang ada hanyalah Harimau. Kalau dilihat dari makna simbolis alkitab, hanya Suku Yehuda yang dijuluki Singa Yehudah.

Seperti apa yang kemudian dijelaskan Marnangkok, Pemimpin Parmalim, ” Untuk apa pengakuan dari setiap bangsa jika Tuhan sendiri tidak mengakui perbuatan kita di dunia ini?” Nampaknya, perjuangan Ugamo Parmalim sudah berujung pada kepasrahan. Dalam kepasrahan ini tentu saja masih ada harapan. Tapi, harapan itu bukanlah berasal dari dunia, melainkan dari Oppu Mula Jadi Nabolon. Dalam harapan itu, ada pula ketaatan untuk selalu mempertahankan hidup suci.

Selanjutnya ia mengucapkan kalimat dalam bahasa Batak, “Berilah kepada kami penghiburan yang menangis ini, bawalah kami dari kegelapan dunia ini dan berilah kejernihan dalam pikiran kami.” Mereka yakin Debata hanya akan memberkati orang yang menangis. Nah, dalam kepasrahan yang berpengharapan inilah mereka hidup. Dalam keterasingan itu juga mereka menyerahkan hidupnya pada “kemaliman” (kesucian). “Parmalim adalah mereka yang menangis dan meratap,” katanya.

Dalam ritual Ugamo Parmalim sendiri, terdapat beberapa aturan dan larangan. Selain mengikuti 5 butir Patik ni Ugamo Malim (5 TitahUgamo Malim), juga terdapat berbagai kewajiban lainnya seperti Marari Sabtu atau ibadah rutin yang diadakan setiap Sabtu. Dalam menjelang hari Sabtu, pengikut Parmalim dilarang bekerja atau melakukan kegiatan apapun. Atau melakukan ucapan syukur dilakukan umat Parmalim setiap hari Sabtu.

Marnakkok Naipospos, pemimpin Parmalim mengatakan: “Samisara itu hari ketujuh bagi orang Batak. Diidentikkan dengan hari Sabtu, supaya berlaku untuk selamanya. Karena kalau kita bertahan pada kalender Batak, yang muda ini bisa bingung. Makanya kakek kita menentukan samisara ini hari Sabtu.” Kewajiban lain di antaranya adalah Martutu Aek, yakni pemandian bayiyang diadakan sebulan setelah kelahiran, Pasahat Tondi yaitu ritual sebulan setelah kematian, Pardebataan, Mangan na Paet dan Pangkaroan Hatutubu ni Tuhan.

Ada pun larangan yang hingga kini masih tetap dipertahankan di antaranya adalah larangan untuk memakan daging babi dan darah hewan seperti yang lazim bagi umat Kristen. Memakan daging babi atau darah dianggap tidak malim (suci) di hadapan Debata. Padahal dalam ajaranParmalim sendiri dikatakan, jika ingin menghaturkan pujian kepada Debata, manusia terlebih dahulu harus suci. Ketika menghaturkan pelean (persembahan) kesucian juga dituntut agar Debata dan manusia dapat bersatu. Selanjutnya, Raja Sisingamangaraja memiliki keturunanhingga 12 keturunan. Itu pun secara roh.

Inilah yang kemudian menjadi acuan pada acara atau ritual-ritual besar Ugamo Parmalim yang diadakan rutin setiap Sabtu dan setiap tahunnya. Ritual-ritual besar Parmalim itu seperti Parningotan Hatutubu ni Tuhan (Sipaha Sada) dan Pameleon Bolon (Sipaha Lima), yang diadakan pertama pada bulan Maret dan yang kedua bulan Juli. Yang kedua diadakan secara besar-besaran pada acara ini para Parmalim menyembelih kurban kerbau atau lembu. “Ini merupakan tanda syukur kami kepada Debata yang telah memberikan kehidupan,” kata Marnangkok.

Catatan: Dalam Kitab Paramalim, yakni Tumbang Holing, terdapat kisah manusia pertama, Adam dan Hawa termasuk taman eden dimana hawa digoda si ular. Hal itu dalam istilah bahasa Batak Toba. Parmalim itu bisa jadi merupakan ajaran usianya sudah ribuan tahun, jauh sebelum Islam dan Kristen masuk dan mempengaruhi keyakinan etnis Batak. Demikian pula dengan simbol dan pakaian kebesaran kerajaan Batak Toba dan Parmalim, agama leluhur Bangso Batak Toba, cenderung mendekati simbol-simbol agama Samawi, misalnya, tongkat, pedang, sorban berwarna putih serta stempel kerajaan. Jika dihubungkan cerita tentang penemuan mummy Mesir yang dibalsem dengan rempah- rempah pengawet di antaranya kanfer (kapur barus) serta kisah tentang Raja (Nabi) Sulaiman/ Salomo membutuhkan rempah-rempah dari Ophir (Barus) di Tapanuli, diperkirakan jejak agama monotheisme Israel terserap dan kemudian mengakar dalam keyakinan Parmalim – Hamlimon – Ugamo Malim, agama Bangso Batak Toba.

Saya cukupkan saja dulu hingga disitu, karena terlalu letih untuk membeberkan semua, termasuk indikasi-indikasi lemah yang banyak jumlahnya. Jika data yang diatas itu saja dibawa kepada ahli statistik, yang tentu akan mempertimbangkan semua aspek-aspek lain yang terkait kedalamnya, simililaritasnya dengan tradisi bangsa Israel kuno dengan bukti autentik tertulis dalam Alkitab, informasi sejarah sekuler, tradisi Semitik yang ada hingga sekarang, serta kesamaan tradisi itu pada suku Batak setelah kurun waktu kurang lebih 3000 tahun, angka perbandingan untuk mengatakan bahwa suku Batak Toba bukan keturunan Israel mungkin 1 : 1,000,000 bahkan bisajadi lebih.

Tulisan ini tidak bermaksud menampilkan superioritas ras, suku atau bangsa atau budaya tertentu. Jika tulisan ini menimbulkan kesan seolah-olah menonjolkan superioritas suatu budaya tertentu, hal itu semata-mata terjadi karena topik yang berfokus pada peran suatu etnis atau Bangso Batak Toba. Keberadaan unsur asing dalam kebudayaan suatu bangsa adalah sebuah kewajaran. Penyerapan unsur asing ke dalam suatu budaya lokal tidak berarti menunjukkaninferioritas kebudayaan yang menyerapnya.

Sejarah justru mencatat, kebesaran suatu kebudayaan berkorelasi positif dengan banyaknya unsur asing yang diserap dan dikembangkan oleh komunitas budaya bersangkutan. Sejarah juga mencatat interaksi suatu komunitas budaya dengan komunitas budaya lain, berjalan timbal balik, tidak pernah searah saja. Tulisan ini mestilah dipahami sebagai upaya menampilkan kemungkinan terjadinya pertukaran nilai budaya dalam rentang waktu beberapa abad antara Timur dengan Barat.

Pada jaman Raja-raja Israel dan Yehudah, telah dilakukan kontak dengan Barus, Tapanuli dengan Israel, Mesir, Persia, Cina, India, Arab, Yunani dan Pakistan yang terjadi satu milenium sebelumnya, hubungan dagang tersebut sudah berlangsung beberapa abad sebelum masehi. Dari berbagai sumber.
Diposkan oleh Pardomuan Pane




Selengkapnya...

SEPULUH SUKU ISRAEL YANG HILANG

SEPULUH SUKU ISRAEL YANG HILANG


Pada tahun 721 SM Samaria, ibukota Kerajaan Israel (Israel Utara), jatuh karena serangan pasukan Asyur (Assyria). Akhjirnya Sepuluh suku Israel dibuang ke Asyur, dan terjadi diaspora (penyebaran) suku-suku Israel ke berbagai penjuru. Bangsa -bangsa kuat saling beradu memperebutkan kawasan Timur Tengah. Kejayaan bangsa Asyur diganti oleh bangsa Babel (Babylonia), tahun 603SM. Di masa kejayaan Babel, Kerajaan Selatan Yehuda jatuh, Jerusalem dihancurkan (587SM), dan berlangsunglah masa pembuangan di Babel. Kerajaan Persia (538-332SM) merebut hegemoni Babel. Sebagian suku Jehuda dan Benyamin, kembali ke Judea. Namun sepuluh suku Israel lain, tidak pernah kembali sebagaimana dua suku itu.

Beberapa raja Persia tersebut dalam Alkitab, yaitu Cyrius (Koresy, Yes45:1); Xerxes (Ahasyweros, Est1:1); Artexerxes (Artahsasta, Neh2:1) dan Darius (Dan6:1). Kejayaan Persia selama 3 abad di seluruh kawasan Timur Tengah, Timur Dekat, dan seputar Mediterania bagian timur melahirkan bahasa Aram sebagai ‘lingua franca’ dan memudahkan migrasi. Masa Persia berakhir ketika Aleksander Agung, dalam waktu relatif singkat menguasai kawasan Makedonia hingga India. Kawasan kekuasaan dinasti-dinasti Yunani (332-167SM) yang lebih luas dari Persia, semakin memudahkan migrasi. Suku-suku Israel meninggalkan Asyur, menuju ke timur, setelah itu tidak ada lagi berita, sehingga mereka dijuluki sebagai “Sepuluh Suku Israel Yang Hilang“ (The Ten Lost Tribes of Israel). sehingga bahasa Yunani menjadi ‘lingua franca’.

Khazar, Chazar (Rusia)
Kawasan yang dihuni orang-orang Khazar terletak di antara Laut Hitam dan Laut Kaspia, diapit Ukraina dan Kazakhstan. Bangsa Khazar berasal dari suku kuno Turki -Mongol (Hun, atau Hsiungnu) yang beralih memeluk Judaisme dan berhasil membentuk Khazaria, kerajaan kuat di masa Abad-7 M hingga Abad-10 M. Orang-orang Yahudi Ashkenazi (Eropa Timur) adalah keturunan orang Khazar. Keberadaan dan kemajuan orang-orang Khazar mengindikasikan akulturasi Yahudi Diaspora (yang melek huruf dan berteknologi) dengan suku Turki-Mongol yang buta huruf dan bergaya-hidup nomad.

Pathans/Pasthun (Afghanistan-Pakistan)
Pathans menganggap diri mereka sebagai anak-anak Israel, meskipun mereka beragama Islam. Bangsa Pathans memiliki kemiripan dengan kebiasaan Israel kuno. Bangsa Pathans kini tinggal di perbatasan Afghanistan-Pakistan. Mereka disebut Afghans atau Pishtus menurut bahasanya. Di Afghanistan, jumlah mereka sekitar enam juta jiwa, dan di Pakistan sekitar tujuh hingga delapan juta jiwa dan dua juta jiwa lagi hidup seperti suku Baduy.

Bukti-bukti yang menarik adalah beberapa nama suku-suku yang sama dengan suku-suku Israel seperti suku Harabni yakni Reuben, suku shinwari adalah Shimeon, suku Levani - Lewi, suku Daftani - Naftali, suku Jaji - Gad, suku Ashuri - Asher, suku Yusuf Su, anak-anak Yusuf, suku Afridi - Ephraim, dan seterusnya. Pasthun atau Pathans mengaku mempunyai hubungan dengan Kerajaan Israel kuno dari suku Benjamin dan keluarga Saul. Menurut tradisi, Saul mempunyai seorang anak, bernama Jeremia yang memiliki anak bernama Afghana. Menurut Injil 2 Raja-raja, Tawarikh 1 dan 2, sepuluh suku Israel dibuang ke Halah, Havor, sungai Gozan dan kota-kota Maday. Beberapa kemiripan Tradisi Pathans dengan Israel kuno: memiliki sunat untuk anak laki-laki pada hari kedelapan, Patrilineal (Garis Bapak), menggunakan Talith (Jubah Doa) Tsitsit, pernikahan (Hupah), kebiasaan wanita (pembasuhan di sungai), pernikahan dari pihak keluarga ibu atau bapak (Yibum), Sangat menghormati bapak, larangan memakan daging kuda dan unta, Shabbat dengan menyiapkan 12 roti Hallah, menghidupkan lilin pada saat Shabbat, hari Yom Kippur, menyembuhkan penyakit dengan bantuan kitab Mazmur (menempatkan kitab Mazmur dibawah kepada pasien, nama-nama Ibrani di desa-desa dan menyebut nama Musa, dan menggunakan symbol bintang Daud. Mereka hidup sebagai suku-suku yang terpencar dan memiliki hokum tradisi yakni Pashtunwali atau hukum Pasthun yang mirip dengan hukum Torah. Pathans bertradisi pernikahan ipar, yang mengharuskan saudara laki-laki menikahi janda saudaranya yang meninggal tanpa keturunan, sama seperti Israel kuno (Ul 25:5-6). Pathans juga bertradisi mengorbankan kambing penebusan, sama seperti masa Israel kuno yang membebankan dosa seluruh bangsa pada domba yang diusir ke gurun dan disembelih (Im16).

Kashmir (India)
Di India bagian utara yakni Kashmir terdapat sekitar 5-7 juta jiwa. Terdapat nama Ibrani di lembah dan didesa-desa di Kashmir seperti Har Nevo, Beit Peor, Pisga, Heshubon. Kebanyakan peneliti berpendapat bahwa bangsa Kashmir keturunan sepuluh suku Israel yang hilang pada pembuangan pada 722 BCE. Penampilan fisik mereka berbeda dengan umumnya orang India. Tradisi mereka memang mengindikasikan perbedaan asal-usul. Orang Kashmir memiliki hari raya Pasca pada musim semi, saat dilakukan penyesuaian perbedaan penanggalan candra dan surya, dengan cara seperti yang dilakukan orang-orang Jahudi. Mereka memang menyebut diri sebagai Bene Israel, Anak-anak Israel. Orang Kashmiri menghormati Sabbath (beristirahat dari semua jenis kerja); menyunat bayi pada usia delapan bulan; tidak makan ikan yang tak bersisik dan bersirip, dan merayakan beberapa hari raya Jahudi lainnya, tetapi tidak yang berasal dari setelah kehancuran bait Allah pertama (seperti Hannukah).

Shin-lung atau Bene Menashe (di sekitar perbatasan India-Myanmar)
Di kawasan pegunungan di kedua sisi perbatasan India-Myanmar, bermukim sekitar 2 juta orang Shinlung. Mereka memiliki tradisi penyembelihan binatang korban seperti suku-suku Israel kuno pada umumnya, dan menyebut diri anak Menashe atau Bene Menashe. Kata Menashe banyak bermunculan dalam puisi dan doa (mereka menyeru “Oh God of Menashe”). Mereka memiliki tradisi cerita yang mengatakan bahwa mereka dibuang ke suatu tempat yang berada di sebelah barat tempat asal mereka, lalu bermigrasi ke timur dan mulai menjadi penggembala dan penyembah dewa. Migrasi mereka berlanjut ke timur, mencapai perbatasan Tibet-Cina, lalu mengikuti aliran Sungai Wei, hingga masuk dan bermukim di Cina Tengah sekitar tahun 230SM. Orang Cina menjadikan mereka sebagai budak, sehingga beberapa diantara mereka melarikan diri dan tinggal di gua-gua kawasan pegunungan Shinlung, dan hidup miskin selama dua generasi. Mereka juga disebut orang gua atau orang gunung dan tetap menyimpan kitab suci mereka. Akhirnya mereka mulai berasimilasi dengan orang Cina dan terpengaruh budaya Cina, hingga akhirnya mereka meninggalkan gua-gua pegunungan dan pergi ke barat, melalui Thailand, menuju Myanmar. Setelah itu mereka berkelana tanpa kitab suci, dan membangun tradisi lisan, hingga sampai di Sungai Mandaley, dan menuju Pegunungan Chin. Pada abad-18 sebagian dari mereka bermigrasi ke Manipur dan Mizoram, India Timurlaut. Mereka sadar bahwa mereka bukan orang Cina meskipun menggunakan bahasa Cina dialek lokal, dan menyebut diri Lusi yang berarti Sepuluh Suku (”Lu” berarti suku, dan “si” berarti sepuluh). Tradisi Menashe antara lain adalah sunat (kini sudah ditinggalkan), upacara pemberkatan anak pada usia 8 hari, hari raya keagamaan yang mirip dengan hari raya keagamaan Jahudi, praktek pernikahan ipar demi kelangsungan nama marga, menyebut nama Tuhan sebagai “Y’wa”, dan memelihara puisi yang mirip dengan kisah penyeberangan Kitab Keluaran ketika bangsa Israel menyeberang Laut Merah. Di setiap kampung ada pendeta atau imam yang selalu bernama Harun (Aaron, saudara Musa dan Imam Pertama Jahudi) dengan pewarisan turun-temurun. Salah satu tugas mereka adalah mengawasi kampung, berdoa dan mempersembahkan korban, dengan jubah ber-‘breastplate’, ikatpinggang dan mahkota, dan selalu membuka doa dengan menyebut nama Menashe. Dalam kasus terdapat orang jatuh sakit, para imam dipanggil untuk memberkati pesakit dan mempersembahkan korban. Imam akan menyembelih domba atau kambing dan mengoleskan darahnya di telinga, punggung dan kaki pesakit sambil mengucapkan mantra yang mirip dengan Im14:14. Pada kasus penyakit khusus, diselenggarakan upacara khusus. Semacam upacara penebusan yang dilakukan dengan memotong sayap burung dan menebar bulunya ke udara. Pada kasus penyakit lepra, para imam menyembelih burung di lapangan terbuka. Untuk penebusan dosa, dilakukan pengorbanan domba di altar seperti dilakukan di Bait Allah (seperti disaksikan seorang penulis di hutan Myanmar sekitar tahun 1963-1964). Darah sembelihan ditorehkan di ujung altar, dagingnya dimakan. Yom Kippur dirayakan sebagai hari penebusan, sekali setahun seperti tradisi Jahudi. Kendaraan imam tidak boleh dibuat dari logam, namun dari tanah liat, kain, atau kayu. Melakukan praktek pemujaan berhala dan mempercayai klenik sehubungan dengan roh dan setan. Percaya reinkarnasi tapi percaya Tuhan di sorga akan membantu dalam kesusahan.

Ch’iang-min (Cina)
Orang-orang Ch’iang atau Ch’iang-min (sekitar 250 ribu orang, 1920) bermukim di Propinsi Sechuan, Cina bagian barat, di daerah pegunungan sebelah barat Sungai Min, dekat perbatasan Tibet [Thomas Torrance “The History, Customs and Religion of the Ch’iang People of West China” (1920) dan “China’s First Missionaries: Ancient Israelites” (1937)]. Mereka menganggap diri sebagai imigran dari barat yang datang ke tempat tersebut setelah berjalan selama tiga tahun tiga bulan. Orang Cina menganggap mereka sebagai barbar, dan mereka menilai orang Cina sebagai penyembah berhala (Ch’iang-min percaya hanya pada satu tuhan dan menyebutnya ‘Yawei’ ketika berada dalam kesulitan). Ch’iang-min mempraktekkan persembahan korban yang dilakukan imam, jabatan yang hanya bisa dijabat oleh pria yang sudah menikah (Im 21:7,13) dan diwariskan turun-temurun. Para imam mengenakan jubah putih bersih dan bersurban khusus. Mezbah dibuat dari batu yang tidak dipotong dengan alat logam (Kel20:25), dan tidak boleh didekati oleh orang asing dan “cacat” (Im21:17-23). Para imam Ch’iang-min menggunakan tali pengikat jubah, dan sebatang tongkat berbentuk seperti ular (kisah Musa di gurun). Setelah berdoa, para imam membakar bagian dalam dan daging korban sembelihan, dan mengambil bagian pundak, dada, kaki dan kulit, sementara dagingnya dibagikan kepada pemberi persembahan. Saat persembahan, mereka mengibarkan 12 bendera di sekitar altar untuk menjaga tradisi bahwa mereka berasal dari satu bapak yang memiliki 12 anak. (Mereka bertradisi sebagai keturunan Abraham dan berleluhur seorang bapak dengan 12 anak). Di antara orang Ch’iang, terdapat tradisi mengoleskan darah pada ambang pintu demi keselamatan dan keamanan rumah, pernikahan ipar, tudung kepala bagi wanita, memberi nama anak pada usia 7 hari hingga menjelang malam ke-40.

Disadur dari : Napak Tilas Suku Israel yang “Hilang”, Agen Akulturasi Jalur Sutra. Heri Muliono, M.Sc, Ir ( 6 Juli 2001). Disusun oleh : Christian P. S
Intisari ini diambil dari Website:
http://warteg.150m.com/Pustaka/JesIndia.htm dan berbagai sumber lainnya.
Selengkapnya...