Minggu, 25 Januari 2009

Peluang Usaha Tempe


Tempe Pun Sampai ke Mancanegara


Dengan memodifikasi bahan baku dan eksperimen produk Zaeni berhasil mengembangkan tempe nya ke Australia dan Jepang. Kiatnya? Russanti Lubis Orang bule makan tempe? Ya, makanan yang menurut sejarah berasal dari Jawa, khususnya Surakarta dan Yogyakarta, ini kini tidak hanya dikonsumsi masyarakat Indonesia, tetapi juga masyarakat mancanegara. Karena, lauk pauk yang kaya akan protein nabati dan serat seperti : kalsium, vitamin B serta zat besi ini dapat dijadikan sebagai pengganti daging, sehingga sangat digemari dan dicari oleh—terutama--kaum vegetarian di seluruh dunia.

Mengetahui hal ini, sebuah perusahaan ekspor impor makanan menggandeng Zaeni, pengusaha tempe di kawasan Buaran, Jakarta Timur, untuk mengekspor tempe ke Australia dan Jepang, pada 1997 lalu. Pengapalan makanan yang terbuat dari kacang kedelai yang difermentasikan ini, dilakukan dua kali dalam setahun, masing-masing sebanyak 5 ton kedelai atau kira-kira setara dengan 15 ribu bungkus tempe.

“Awalnya, sebuah perusahaan ekspor impor makanan ingin mengeskpor tempe. Lalu, perusahaan tersebut mencari ‘perusahaan’ tempe yang bukan cuma produknya yang memenuhi standarisasi sebuah usaha, melainkan juga tempat usahanya. Kebetulan, seorang kenalan dari Departemen Perindustrian menawarkan kerja sama tersebut ke saya. Peluang itu saya, ambil,” kata Zaeni, pengusaha tempe ekspor.

Sebelum tempe diekspor, Zaeni harus melakukan riset secara bertahap untuk memastikan bahwa produk tersebut aman dikonsumsi oleh masyarakat mancanegara. Selama setahun, dia harus melakukan berbagai eksperimen. Sesudah itu, baru dikirimkan ke Australia dan Jepang. Mula-mula 5 kg/bulan untuk masing-masing negara, kemudian 10 kg/bulan, dan akhirnya 5 ton/negara setiap setengah tahun. “Proses itu berlanjut sampai sekarang,” ujar Zaeni, mengisahkan ekspor tempenya.

Apa sih hebatnya tempe Zaeni sehingga mampu diekspor? “Saya menggunakan kedelai yang lebih berkualitas dan melalui proses seleksi yang ketat. Hanya kedelai yang berwarna putih bersih yang saya gunakan. Karena itu, tempe saya mampu bertahan selama setahun, sedangkan yang untuk pasar lokal hanya bertahan 2 sampai 3 hari. Selain itu, tentu saja harganya lebih mahal, dua kali lipat daripada yang untuk konsumsi setempat,” ujarnya. Sekadar informasi, untuk tempe mendoan, Zaeni menjualnya dengan harga Rp500/bungkus, untuk yang dibacem atau digoreng biasa Rp150/bungkus, dan yang dikemas dalam plastik dengan berbagai ukuran Rp2.500,- hingga Rp4.000,- per kemasan.

Selain membuat tempe, Zaeni yang membangun usahanya sejak 1978 juga membuat susu kedele sebagai alternatif susu untuk bayi. Namun, karena mahalnya biaya produksi, susu tempe ini masih disimpan di laboratorium dan belum diproduksi serta dipasarkan. Di samping itu, saat ini ia juga sedang menjalin kerja sama dengan sebuah perusahaan untuk memproduksi dan mengembangkan kerupuk tempe, yang nantinya dipasarkan ke luar negeri. “Sebenarnya, apa yang saya lakukan itu hanyalah bagian dari percobaan-percobaan untuk membuktikan bahwa tempe bukan cuma dikonsumsi dengan cara yang begitu-begitu thok, melainkan juga dapat dikembangkan sama halnya dengan terigu, sehingga orang tidak jenuh makan tempe,” jelasnya.

Zaeni optimistis pasar tempe masih terbuka luas. Apalagi kalau mau terus menekuni dan belajar. Ide-ide baru dicoba, inovatif, “saya yakin pasar untuk tempe selalu ada.” Karena, sama halnya dengan bisnis-bisnis pada umumnya, dalam bisnis tempe, tidak cukup sekadar mengetahui bagaimana caranya membuat tempe, melainkan juga segala tetek bengek usaha ‘pertempean’ seperti bagaimana caranya membuat konsumen tidak membeli tempe sekali saja dan dalam jumlah sedikit, tetapi berkali-kali dan dalam jumlah banyak. Bukan cuma sudah merasa mampu membangun bisnis tempe, melainkan juga siap mental dan modal. Bukan hanya fokus pada produksi, melainkan juga menguasai pasar. “Semua ini bagian dari pemasaran juga loh,” katanya.

Selain itu, tambah dia, di satu sisi, usaha tempe juga sangat menolong mereka yang putus sekolah dan tidak berpeluang menjadi karyawan. Sebab, tempe merupakan bisnis dengan modal kecil dan bahan baku gampang. Di sisi lain, merajalelanya penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh daging, flu burung misalnya, bisa mendongkrak penjualan tempe hingga 10%. “Jika dalam satu pasar terdapat kira-kira 40 pengusaha tempe dan masing-masing memproduksi 100 kg kedelai/hari, total dalam sehari diproduksi 4 ton kedelai. Dengan adanya kenaikan penjualan 10%, berarti terjadi kenaikan produksi 400 kg kedelai/hari. Sebuah bisnis yang murah meriah, bukan?” imbuhnya.

Zaeni sendiri membangun bisnis ini dengan modal Rp1 juta dan omset harian 200 kg kedelai atau setara dengan Rp 800 ribu/hari. Setiap hari, dia dan lima karyawannya memproduksi 200 kg sampai 300 kg kedelai atau sama dengan 600 bungkus tempe dengan berbagai ukuran dan kemasan. “Kami berproduksi setiap hari, tidak ada istilah libur di sini. Karena, orang juga tidak pernah libur makan tempe, bukan?” timpalnya. Selanjutnya, tempe-tempe itu dibawa ke pasar. Di samping menjual eceran untuk konsumen, tempe itu juga dijual secara grosiran atau memasok ke para tukang sayur, yang dianggap sebagai agen. Kepada para agen, saya menjual lebih murah sekitar 40%,” ujar Zaeni yang mengembangkan usaha tempenya di home industry sekaligus rumah tinggalnya seluas 225 m².

Kedepannya, Zaeni berencana mengembangkan pasar tempenya lebih luas lagi. Selain pasar domestik, dia masih mencari peluang pasar mancanegara lainnya, di luar Jepang dan Australia. Ibarat plesetan motto sebuah media, tempe (memang) enak dimakan dan perlu, menjanjikan omset menggiurkan pula.
© 2009 Majalah Pengusaha - Peluang Usaha dan Solusinya