Oleh : Hasal Al Bana
Kompas, 5 April 2009
Belakangan, tak mudah bagi Haji Sudung membongkar timbunan peristiwa silam di bilik kenangannya. Peristiwa-peristiwa tak ubah barang rongsokan. Semacam lempengan-lempengan besi tua yang menelungkup dan berkarat. Ya, usia begitu tangguh menyusutkan tubuh, mengangsurkan penyakit demi penyakit, termasuk melumpuhkan ingatan. Kalaupun ada lempengan yang masih berkilau, adalah hal yang kerap membikin cekung mata Haji Sudung basah. Selain kematian istrinya empat tahun lampau, masa meninggalkan tanah kelahiran setahun lalu senantiasa meremas dadanya.
Bermula dari desakan anak-menantunya, Haji Sudung akhirnya luluh. Hasil mufakat jarak jauh Marsan dengan kedua kakaknya—Lisna dan Suti yang hidup mapan di Jakarta—sulit dibendung. Meski tinggal di rumah anak baginya serupa dengan menumpang, kesepakatan sudah telanjur masak. Begitulah, dulu anak-anaknya tunduk kepada aturan-aturan yang ia maklumatkan. Tetapi, kini ia harus paham bahwa tiba juga giliran untuk menurutkan kemauan anak.
Lisna dan Suti memberi titah agar Ayah tinggal bersama Marsan. Seluruh harta bumi dijual! Untuk apalagi itu, kata mereka. Toh, Ayah kewalahan mengurusnya. Para kerabat, baik dari pihak Ayah maupun Ibu, tak bisa dipercaya, hanya lihai mengintai harta. Maka lebih baik diuangkan, ditabung, dan digunakan Marsan untuk biaya perobatan Ayah. Uang harta yang setara dengan ongkos sepuluh kali naik haji mustahil dibawa mati. Ayah mau naik haji lagi? Ah, empat kali ke Tanah Suci sudah cukup. Lagian, kondisi Ayah semakin mengkhawatirkan. Jalan pun sudah terseok, menanggungkan rematik, paru-paru basah, dan mag akut.
Memang, Haji Sudung sudah kehabisan amunisi alasan untuk tidak meninggalkan kampung. Limpahan kekayaan pun tak bisa membeli hasratnya untuk tetap bertahan. Lengan-lengan waktu teramat leluasa menyita kepunyaannya satu per satu. Anak-anak pergi menaklukkan hidupnya masing-masing. Istri pamit ke alam lain. Terus, rimbun ladang kopi, sawah berbidang-bidang, kolam ikan yang luas harus pindah ke tangan orang lain. Tinggal rumah panggung kebanggaannya yang masih dipertahankan. Itu pun sekadar penanda, bahwa Haji Sudung pernah lahir dan menempuh hidup di situ.
Ia pernah mengapungkan keinginan untuk menikah. Tentu, keinginan yang jauh dari tunggangan hasrat duniawi. Iyalah, usia Haji Sudung hampir menyentuh angka 78. Manalah ia merisaukan hal yang demikian lagi. Ia ingin menyunting istri hanya untuk menghadapi kenyataan bahwa harus ada yang merawatnya, menemaninya menunggu jemputan maut. Lain tidak. Lagi pula, Haji Sudung menggiring telunjuk keinginan pada Maisa, adik mendiang istrinya. Ganti tikar namanya itu. Namun, belum lagi keinginan ditiup ke pihak perempuan, anak-anaknya langsung menghadang. Terlebih-lebih Risda, istri Marsan.
Memang, Risda termasuk paling ngotot melarang Haji Sudung menikah. Juga tak bosan-bosan melunakkan hati Amangboru—sang mertua—untuk tinggal bersamanya. Haji Sudung angkat topi dengan keuletan menantunya itu. Maka Risda adalah salah satu alasan Haji Sudung menganggukkan kepala atas keinginan anak-anaknya.
”Untuk apalah Amangboru menikah lagi. Kalau soal merawat, aku pun bisa. Lagi pula, apa Amangboru yakin akan dirawat setelah nikah? Bukan aku menjelek-jelekkan, cuma khawatir saja, bukannya mengurus Amangboru, eh malah menguras kekayaan. Tengoklah, entah bagaimana caranya, beberapa bulan setelah bou meninggal, sawah sebidang dijual keluarga bou. Pikirkan Amangboru-lah itu.” Beber Risda suatu kali, ketika ia, Marsan, dan kedua anaknya rela menempuh waktu semalam menuju kampung, menyampaikan titah kesepakatan.
Haji Sudung tak menyangkal. Apa yang dikatakan menantunya itu kenyataan. Sepeninggal istrinya, bou Risda, sebidang sawah miliknya raib dijual keluarga sang istri. Konon, Maisa ikut andil. Lantas, rasa segan bakal diurus menantu pun tak lagi menjadi pertimbangan bagi Haji Sudung untuk segera menghuni rumah Marsan.
”Apalagi yang dipikirkan. Itu, cucu Amangboru, Andika dan Veri bakal senang kalau opungnya tinggal bersama mereka…,” bujuk Risda pada kunjungan yang lain. Haji Sudung terkekeh mengamati keheranan Veri melihat belut hasil tangkapan Marsan di sawah belakang rumah. Ia bahagia setiap kali dikunjungi cucu-cucunya. Veri, tiga tahun, lagi bijak-bijaknya. Andika yang terpaut dua tahun di atas Veri juga sering membuatnya terhibur. Apalagi, lima cucunya dari Lisna dan Suti baru sekali bersua dengannya. Itu pun ketika istrinya meninggal.
Maka, meski berat, Veri dan Andika menjadi alasan lain Haji Sudung meninggalkan kampung halaman….
”Ini bukan dosa, Pa,” ujar Risda sambil menyetrika di ruang tamu. Marsan asyik menonton tivi. ”Kita pakai saja tabungan Amangboru. Mana tahu-tahu Amangboru itu.” Marsan diam saja mendengar Risda yang berencana membuka usaha salon sekaligus bidan pengantin.
”Coba Papa pikirkan. Meski golongan tiga A, berapalah gaji Papa. Itu pun dua pertiga habis menutupi kredit rumah. Sebentar lagi si Andika sekolah. Pengeluaran lagi, kan?” Marsan masih diam. Tetapi, kini matanya tertumbuk pada foto perkawinan yang tegak di samping tivi.
”Lagi pula, lama-lama tabungan Amangboru habis untuk biaya berobat dan tetek bengek lainnya. Nah, kalau sudah habis, kitalah yang menalanginya. Papa tahu kan, Kak Lisna dan Kak Suti hampir tak pernah mengirim biaya tambahan. Maka itu, kita putar saja uang Amangboru. Ujung-ujungnya untuk mengurus Amangboru juga. Cocok, Pa?” Risda terengah, berbicara sambil menyetrika. Sedang Marsan tetap diam. Kemeja Haji Sudung yang tengah disetrika Risda menyita perhatiannya.
”Aku tinggal kursus tata rias. Menjahit aku sudah mahir. Jangan khawatir, Pa, Amangboru tetap aku urus. Ini kan usaha rumahan. Paling aku keluar kalau lagi merias pengantin.” Marsan menghela napas. Lantas menggeser pandangan ke pintu.
”Ayah mana, ya?”
”Pa, Pa, paling di masjid belakang kompleks. Masjid kompleks kita kan enggak ada sembahyang berjemaahnya….”
Ya, kebisaan Haji Sudung sembahyang jemaah di kampung tak bisa ia tanggalkan. Ia semula senang mendapati masjid kompleks yang jauh lebih mewah dari masjid di kampung. Namun ia kecewa karena masjid tersebut hampir-hampir tak pernah dimanfaatkan penghuni kompleks. ”Masjid apa itu?” Adunya kepada Marsan.
Maka tidak heran, jika ia rela berjalan jauh—untuk ukuran Haji Sudung—demi menempuh masjid di tengah perkampungan warga di belakang kompleks. Ia bahkan betah berada di masjid itu dari zuhur sampai isya. Marsan dan Risda pernah panik mencari Haji Sudung karena dianggap tersesat lagi. Rupanya, Haji Sudung ikut merayakan acara Maulid Nabi bersama warga di sekitar masjid tersebut. Sebelumnya, Haji Sudung pernah diantar penarik becak. Ia tersesat, bukan berjalan ke arah kompleks, malah membelakangi tujuan yang semestinya.
Maklumlah, menjalani hari-hari pertama tinggal di kompleks saja, Haji Sudung sudah linglung. Ia pernah mengetuk pintu rumah penghuni lain di kompleks itu. Sulit baginya membedakan rumah Marsan kalau hanya berdasarkan bentuk. ”Sama semua pula aku tengok,” kata Haji Sudung seakan membela diri. Saat itu, Risda tertawa geli.
Namun, seiring waktu, tawa geli Risda berubah kecemasan. Lama-lama ia merasa repot mengurus Haji Sudung. Tambah pikun ia, sudah sering buang hajat di celana. Warga di belakang kompleks pernah memulangkan Haji Sudung karena berak tatkala sembahyang magrib. Sementara itu, salonnya mulai ramai. Panggilan ke acara pesta perkawinan makin banyak. Belum lagi kesibukannya menambah perangkat salon atau merancang pakaian pengantin model baru menyandera banyak waktu. Maka suatu kesempatan usai makan malam, Risda menyarankan Marsan agar menitipkan Haji Sudung ke panti jompo.
”Di panti, makan dan obat Amangboru terjaga, Pa. Ibadahnya pun lebih khusyuk. Orang setua Amangboru tinggal beribadah banyak-banyak. Mau apalagi, coba?” Marsan menjawab dengan diam.
”Terpikir juga memang untuk menyewa pengasuh. Tapi kan sama saja, karena Amangboru tetap di rumah ini. Kalau di panti banyak yang mengurus, ya makannya, ya obatnya, ya ibadahnya.” Risda kembali menguatkan pendapatnya. Sedang Marsan, lagi-lagi diam.
”Soal panti yang biaya bulanannya tak terlalu mahal, aku punya alamatnya. Nanti kita cek.” Marsan seperti hendak berbicara. Tapi kepulangan Haji Sudung selepas isya membuat pembicaraan mereka terhenti. Marsan bergegas menyambut tatih langkah Ayahnya.
”Makan dulu, Ayah. Biar makan obat.”
”Mmh…,” balas Haji Sudung pelan. Tetapi, langkahnya berbelok ke kamar. Ia tak selera makan. Air mukanya kusut. Beberapa hari ini, keinginan untuk balik ke kampung acap menggedor dadanya. Ia tak betah di rumah Marsan. Ia merasa sebagai beban, atau karena tak cocok dengan lingkungan kompleks? Tetapi, di sisi lain, ia tak enak hati pula kepada Marsan dan menantunya. Ia harus menimbang harga diri mereka. Apa nanti cemoohan orang-orang di kampung. ”Tak pandai si Marsan dan si Risda itu menyenangkan orangtua, ya?”
Maka hari-hari terakhir ini, Haji Sudung lebih banyak mengurung diri di kamar. Tidur-tiduran. Ya, seperti malam ini. Tadi ia tak pergi ke masjid. Napasnya sesak lagi. Sejak magrib tadi ia hanya berbaring. Tidur-tidur ayam. Dalam persimpangan antara tidur atau tidak, Haji Sudung pun tiba-tiba berada di persimpangan antara mimpi buruk atau tidak. Ia duduk di sofa, berhadap-hadap dengan Marsan dan Risda. Tetapi, Haji Sudung tak berdaya ketika mengetahui rencana Risda terhadapnya.
”Sudahlah, Pa. Kirim saja Amangboru ke panti. Ini demi kebaikan kita dan Amangboru juga,” desak Risda. Marsan diam. Secangkir kopi yang baru disuguhkan istrinya masih terlalu panas untuk diseruput. Haji Sudung tak mempermasalahkan mengapa Risda tak menghidangkan kopi untuknya. Ia memang dilarang dokter minum kopi. Tetapi, ia gusar mendengar deretan kata-kata susulan yang meluncur lancar dari mulut Risda.
”Amangboru sudah uzur, Pa. Dan semua orang bakal mati. Kini kita harus memikirkan yang ada di depan. Masa depan keluarga kita, anak-anak kita.” Ingin rasanya Haji Sudung menempeleng Risda, juga menendang Marsan yang cuma bisa diam. Ia tahu, diam bukan karakter Marsan yang sesungguhnya. Paling tidak, sebelum ia menikah. Tapi bagaimana Haji Sudung hendak menempeleng atau menendang. Bukankah ia sedang berada di lalu lalang mimpi? Entahlah!
”Besok kita antar Amangboru ke panti jompo!” tegas Risda. Darah Haji Sudung mendidih. Ia berharap Marsan membenamkan cangkir kopi ke mulut Risda. Tetapi, mulut Risda malah memberi perintah kepada kedua anaknya.
”Andika, Veri, suruh Opung berkemas-kemas. Bilang, besok kita jalan-jalan ke kampung!”
”Kita pulang kampung, Ma?” Risda menggangguk. ”Hore, hore,” Andika dan Veri melonjak kegirangan. Haji Sudung menyaksikan cucu-cucunya berlari ke arah kamarnya.
”Opung, Opung, besok kita pulang kampung kata Mama. Boleh mandi ke sungai, kan, Pung,” teriak Andika.
”Nangkap belut saja, Pung,” rengek Veri.
Haji Sudung tersentak. Ia mendapati kedua cucunya menggoncang-goncang tubuhnya. Ia berusaha bangkit dari tempat tidur. Belum sepenuhnya sadar, berulang-ulang ia mendengar Andika dan Veri berteriak sahut-sahutan.
”Kata Mama besok kita pulang kampung. Ayo, Pung, susun baju,” teriak Andika.
”Iya, Pung. Susun baju,” Veri membeo.
Haji Sudung terkesima mendengar kabar itu. Ah, aku tadi cuma mimpi buruk, batinnya. Dengan gerakan gontai, ia mendekap erat kedua cucunya. Dari ufuk matanya terbit mata air kehangatan. Lantas, dengan tangan yang bergetar hebat, Haji Sudung bergegas menyusun pakaiannya ke dalam tas Lee yang kusam. Seperti menyusun bengkalaian peristiwa ke bilik kenangannya yang penuh debu. Andika dan Veri begitu cekatan membantu Opung mereka. Tak satu baju pun yang tertinggal di almari. Seolah-olah Haji Sudung tak akan kembali lagi ke rumah itu.
Malam itu, sambil mendekap buntalan tasnya, Haji Sudung tak sabar untuk segera tertidur. Ia ingin berlari memburu pagi. Atau, mana tahu wangi tanah kelahiran lebih dulu hinggap ke dahan mimpi. Bukan mimpi buruk tentunya. Namun, siapa yang bisa mengetahui isi mimpinya? Sebab, dalam kegelisahan tidur, mulut Haji Sudung hanya lumat oleh igau yang berantakan.
”Ini bukan kampungku! Ini bukan rumahku!”