Rabu, 14 Januari 2009

Tanku Rao

Resensi Buku:


PONGKI NANGOLNGOLAN SINAMBELA
gelar
TUANKU RAO)
(Terro Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833)


Buku ini semula hanya ditujukkan pada anak keturunannya. Terbit pertama kali tahun 1964 oleh Penerbit Tanjung Harapan. Ia langsung menjadi kontroversi yang menghunjam ke lubuk ingatan sejarah konvensional saat itu tentang suku Batak di masa periode pengislaman (1816 M) oleh tentara Paderi. Namun kemudian buku itu ditarik lagi dari peredarannya. Entah karena alasan apa.Dalam buku ini Onggang Parlindungan dengan tegas mengakui ingin memperbaiki citra dan nama baik Tuanku Rao yang selama ini hancur lantaran kekerasan yang dilakukannya selama pengislaman tanah Batak.

Menurutnya, yang melakukan kekerasan yang berlebihan dan tindakan-tindakan biadab lainnya itu adalah Tuanku Lelo, bawahan Tuanku Rao (hlm.14). Bahkan, menurut penulis sudah sepantasnya Tuanku Rao diakui sebagai salah satu pahlawan nasional yang sejajar dengan Imam Bondjol. Dan uniknya, M. Onggang Parlindungan sendiri tidak lain adalah cucu dari cucu Tuanku Lelo.Penyerbuan Tentara Paderi dari Minangkabau ke tanah Batak tidak semata-mata bermotivasikan politik keagamaan, yakni penyebaran Islam (madzhab Hambali), namun karena suatu dendam dari keturunan marga Siregar terhadap raja Oloan Sorba Dibanua yang pernah mengusir marga itu dari tanah Batak.

Marga Siregar bersumpah untuk menghancurkan Singamangaradja X beserta seluruh keturunannya.Agama Islam Madzhab Hambali di Tanah Batak mempunyai nama populer yaitu “Silom Bonjol” (Islam Bonjol) karena ia berasal dari Bonjol (Minangkabau), meskipun sesungguhnya ia dipimpin oleh orang-orang Batak sendiri, di antaranya Pongkinangolngolan Sinambela (Tuanku Rao), Idris Nasution (Tuanku Lelo) dan Jatengger Siregar (Tuanku Ali Sakti).

Adapun Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap dari Gana Sinambela (putri Singamangaradja IX) dengan pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela (adik Singamangaradja IX). Perkawinan sesama saudara merupakan tabu dalam adat Batak. Sementara Gana Sinambela adalah kakak dari Singamangaradja X yang sangat menyayangi Pongkinangolngolan. Sesuai hukum adat, Singamangaradja terpaksa menghukum keponakannya tercinta dengan menenggelamkannya di Danau Toba.


Pongkinangolngolan berhasil selamat lewat arus Sungai Asahan dan kemudian sembunyi di daerah Angkola dan Sipirok.Karena merasa takut identitasnya ketahuan sebagai seorang ‘pesakitan adat’, Pongkinangolngolan memutuskan pergi ke daerah Minangkabau, dan di sanalah ia di-Islamkan oleh Tuanku Nan Rentjeh, seorang pemimpin Darul Islam Minangkabau pada tahun 1804 dengan nama Umar Khatab yang dibalik menjadi ‘Umar Batak’ ( hlm. 68).Sebagai seorang yang cerdas dan berbakat, Pongkonangolngolan mendapat banyak pendidikan kemiliteran baik di dalam negeri maupun luar negeri. Pendidikan kemiliteran pertama ia dapat di Benteng Batusangkar dari Zafrollah Aly.


Ia bahkan sempat mengikuti pendidikan militer Kavaleri Janitsar di Turki. Dengan strategi Kavaleri Janitsar Turki ini, Tentara Paderi berhasil melumpuhkan pasukan Singamangaradja X yang jumlahnya jauh lebih banyak pada penyerbuan kedua (tahun 1818) setelah penyerbuan pertama tahun 1816 yang berakhir dengan direbutnya benteng Muarasipongi milik marga Lubis yang dibantai sampai tak tersisa. Terror ini sengaja dilakukan oleh Tuanku Lelo untuk menanamkan rasa takut demi mempermudah penaklukan.Ada suatu pola yang aneh dalam riwayat hidup Tuanku Rao yakni ‘dari kolonial kembali ke kolonial’.

Tanpa disadarinya, penyerbuan Paderi ke tanah Batak itu berada dalam pola politik devide et impera milik Belanda yang ditiru oleh Tuanku Nan Rentjeh, yakni menyerang tanah Batak dengan menggunakan orang Batak sendiri. Namun akhir perang paderi pun kandas dalam kolonial yakni ketika perang Paderi terhenti pada tahun 1820 karena berjangkitnya penyakit pes yang membuat tentara Paderi yang semula berjumlah 150.000 orang menjadi 30.000 orang.Untuk menyelamatkan sisa pasukannya itu, Tuanku Rao menarik mundur pasukannya, pada tahun 1890 menarik mundur pasukannya dari Batak Utara, sehingga rencana pengislaman tanah Batak—yang dikenal sebagai “Rentjana Tudjuh Tudjuh” tidak dapat tuntas (dan saat itu Batak terbagi menjadi Batak Selatan yang beragama Islam, dan Batak Utara yang beragama Kristen).

Namun Tuanku Imam Bonjol memerintahkan Tuanku Rao bersama pasukannya untuk menetap di Tanah Batak guna menghadang pasukan Belanda. Perang dengan tentara Belanda pun tak dapat dielakkan hingga meletuslah pertempuran di Air Bangis pada tanggal 5 September 1821 yang mengakibatkan kekalahan pasukan Paderi. Tuanku Rao gugur dalam pertempuran itu.Kiranya, buku (penafsiran) sejarah ini telah memberikan kontribusi bagi pembacaan kita akan sejarah penyebaran Islam di tanah Batak. Keragaman teks historiografi perlu disikapi dengan positif dan buku ini memiliki kekuatan untuk merekontruksi visi sejarah kebudayaan Batak dalam segala segi dan levelnya. Bukankah ingatan sejarah kolosal mempunyai signifikansi besar terhadap pola determinasi masa depan kebudayaan itu sendiri?l


Ridwan Munawwar, anggota Rumah Baca Poetika Yogyakarta..