Rabu, 05 November 2008

HIDUP ADALAH PERJUANGAN


Netty br Sianturi, dari Pramugari Menjadi Petani

Tahun 1996 Netty Sianturi menyewa lahan di Saribu Dolok, Simalungun, Sumatera Utara. Ia lalu bertanam tanaman usia pendek, seperti kentang hingga ubi taiwan. Aktivitas bertani dilakukannya sendiri, mulai dari mencangkul, menyiangi lahan, memupuk tanaman, hingga memanen hasilnya.


Oleh : Khaerudin/Kompas

Padahal, sebelumnya tak pernah terlintas di benaknya bakal menjalani hidup dengan bertani. Mantan pramugari Garuda Indonesia ini mengaku “hanya” meneruskan semangat suaminya, almarhum Djahormat Sumbayak, yang gemar melihat aktivitas pertanian tetapi tak mau langsung bertani.

Tak lagi bertugas sebagai pramugari Garuda Indonesia pada 1983, Netty menjadi ibu rumah tangga. Ia ikut ke mana sang suami bertugas mulai dari Manado, Malang, Kudus, Ambon, hingga pensiun di Pematang Siantar.

“Saya sempat ingin membuka butik, salon, hingga sanggar senam, tapi suami tak mengizinkan. Waktu saya bilang pengin bertani, suami langsung setuju dan langsung menyewa lahan di Siborong-borong,”tutur perempuan berusia 49 tahun ini.

Awalnya, Netty memilih bertani karena ingin menyalurkan semangat sang suami. Namun, justru aktivitas bertani yang membuat dia berkenalan dengan salah satu distributor pupuk kimia di Sumatera Utara. Salah satu strategi pemasaran distributor tersebut adalah mengajak petani “studi banding” ke daerah pertanian lain. Netty sempat ikut “studi banding”. Ia belajar bertanam jeruk siam madu (disebut juga jeruk medan) di Karo.

Lahan seluas 12 hektar yang disewanya dari penduduk di Desa Lobu Tua, Kecamatan Siborong-borong, Tapanuli Utara, selain palawija dan sayuran, juga ditanam jeruk. Awalnya ia menanam jeruk di areal seluas 2 hektar. Pada tahun 2000 lahan yang dia sewa itu setahap demi setaha dibelinya.

Tak ada masalah berarti yang dihadapinya. Sampai suatu ketika Netty, seperti juga nasib para petani Indonesia lain, merasa tidak berdaya dengan tingginya harga sarana produksi seperti pupuk. Pada saat bersamaan, harga jual produk pertanian sulit menutup ongkos produksi yang dia keluarkan.

Dalam dua tahun terakhir, pupuk kimia menjadi momok menakutkan bagi petani. Harga pupuk kimia non-subsidi melambung tinggi, sementara pupuk kimia bersubsidi hilang di pasaran. Kondisi ini membuat Netty harus memutar otak.

Koperasi kredit

Beruntung, ia menjadi anggota koperasi kredit atau credit union (CU) Satolop Siborong-borong. Salah satu kewajiban anggota CU Satolop yang membedakan dengan CU lain di Sumut adalah banyaknya frekuensi pelatihan yang mesti diikuti. Netty, misalnya, pernah mengikuti pelatihan pembuatan kompos bokasi atau bahan kompos yang difermentasikan dengan perlakuan bakteri.

Ia teringat pada hasil pelatihan tersebut. Apalagi pada saat yang sama, harga pupuk kimia non-subsidi, kata Netty, tak mungkin memberi untung meski saat panen jeruk sekalipun. Dia lalu mencoba mempraktikkan pelajaran dari pelatihan itu. Sebuah gudang kosong dekat kebun jeruknya dijadikan tempat mengolah kompos.

Netty mencampur bahan-bahan kompos, seperti kotoran sapi, humus, hingga bekas sisik ikan yang telah dibersihkan. “Saya sebut itu ikan busuk karena memang baunya menyengat hidung.”

Untuk membuat bokasi, ia mencampur kotoran sapi, humus, ikan busuk, dedak, hingga sekam padi. Semua bahan tersebut diaduknya menjadi satu. “Adonan itu harus diaduk setiap hari, selama minimal delapan hari. Setelah semua bahan kompos ini tercampur baru ditambahkan satu botol zat pengurai, berupa mikro organisme khusus,”katanya.

Selama masa pencampuran delapan hari, suhu kompos mencapai titik paling panas. Netty lalu mengaduk tumpukan kompos itu dengan cangkul. “Dari bertani seperti ini, saya bisa membiayai kuliah anak-anak.”ujarnya bangga.

Pupuk organik

Sejak mulai menggunakan pupuk organik, dua kali Netty sudah memanen hasil jeruknya. Menurut dia, menggunakan pupuk organik ternyata jauh lebih menguntungkan petani daripada menggunakan pupuk kimia.

Dari sisi ongkos atau biaya operasional yang mesti dikeluarkan, misalnya, menurut Netty, petani bisa sangat berhemat. Meski untuk itu petani harus mau bersusah payah mengolah bahan organik menjadi pupuk.

“Untuk mendapat 1,5 ton pupuk organik, paling-paling saya mengeluarkan biaya sekitar Rp 2,4 juta. Itu sudah termasuk ongkos untuk pekerja yang membantu mengolah kompos. Sedangkan kalau saya beli 1,5 ton pupuk NPK dengan harga sekarang, biayanya sampai Rp.15 juta,”ujarnya.

Selain, dengan pupuk organik, hasil panen pun menunjukkan peningkatan. “Kalau dulu dengan pupuk kimia, satu hektar kebun jeruk hasil panennya 50 ton, kini dengan pupuk organik hasilnya meningkat menjadi 60 ton.”

Berbagai keuntungan itu membuat ibu lima anak perempuan ini makin giat membagi pengalamannya kepada petani lain. Netty menjadi pionir petani pengguna pupuk organik di Tapanuli Utara. Ia tak hanya menggunakan pupuk organik di kebun jeruk, tetapi juga di ladang jagung. Ia pun dengan halus menolak ajakan “studi banding” dari distributor pupuk kimia.

Pelaksana Manager Pusat Koperasi Kredit Sumut Robinson Bakara mengungkapkan, keberhasilan Netty menjadi semacam pemicu bagi petani anggota CU di Sumut untuk lepas dari jerat masalah pupuk kimia, baik yang bersubsidi maupun non-subsidi.

Pusat Koperasi Sumut pun memfasilitasi ribuan anggota yang ingin belajar memakai pupuk organik seperti di ladang Netty. Ladang tempat Netty bertanam jeruk dan jagung juga dijadikan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara sebagai kompleks pembangunan agropolitan.

Berbeda dengan ladang milik Netty, lahan milik pemerintah daerah malah dibiarkan terbengkalai. Sebuah bangunan baru yang rencananya dijadikan pusat penjualan sayur-mayur hasil panen kompleks agropolitan Tapanuli Utara pun tak terawat. Rumput liar tumbuh di sekelilingnya.

Netty berujar, jika tempat itu tak dimanfaatkan pemerintah, ia ingin memanfaatkannya untuk berbagi dengan petani lain. Tempat tersebut akan dijadikannya sebagai pusat pelatihan petani organik. “Salah satu bangunannya bisa dijadikan tempat membuat bokasi,”kata perempuan energik ini.

BIODATA

Nama : Netty boru Sianturi

Lahir : Siborong-borong, Tapanuli Utara, 6 Desember 1959.

Pendidikan :

SD Siborong-borong, Tapanuli Utara
SMP Tarakanita Pluit, Jakarta, tamat 1975
SMA Tarakanita Pluit, sampai kelas II
SMA PSKD 3 Kwini, Jakarta, tamat 1978
Akademi Perniagaan industri, tamat 1981

Pengalaman kerja :

Pramugari Garuda Indonesia, 1980-1983, sambil kuliah
Petani, sejak tahun 1996-sekarang

Suami : Djahormat Sumbayak (almarhum)

Anak :

Judith br Sumbayak, kuliah di Teknik Industri ITB, Bandung
Laura br Sumbayak, sarjana kedokteran gigi Unpad, Bandung
Astrid br Sumbayak, kuliah di Fakultas ilmu Komunikasi Unpad
Inez br Sumbayak, kuliah di Teknik Kimia ITB
Naomi br Sumbayak, kelas iI SD

Sumber : Kompas, 16 September 2008



Tidak ada komentar: